Saat itu dia bilang aku adalah secangkir kopi panas di pagi hari sebelum berangkat kuliah karena ia tidak punya cukup waktu untuk istirahat pada malam sebelumnya. Ia bilang aku seperti air hujan pada jam dua belas siang. Aku selimut tebal pada bulan November dan kue yang baru keluar dari oven.
Kulitnya hangat setiap ia menyentuh lenganku. Setiap aku menoleh ke arahnya ia selalu tersenyum. Ia selalu menggerakkan kakinya setiap menunggu sesuatu dan tangannya selalu berada di punggungku jika kami tidak jalan bersebelahan.
Aku terbangun malam itu dengan posisi tidur menghadap ke tembok. Ia masih di belakangku –aku menoleh, memastikan kalau apa yang aku pikirkan benar-benar nyata. Ia di sana, matanya tidak terpejam kemudian tangannya bergerak mengelus-elus kepalaku. Ia menarik selimut sampai menutupi pundak dan tangannya mencari celah antara lengan dan pinggangku. Ia menyelipkannya lalu membuang space antara kami berdua. Wajahnya mendekat ke arah leherku kemudian ia bernafas, pelan, hangat sekali. Ia mencium ujung kepalaku setelahnya, lalu menuyuruhku untuk memejamkan mata.
Aku tidak suka keju sampai suatu hari ia membawakanku dua kotak cupcake dengan topping cokelat putih dan keju di atasnya. Aku dan mawar bukanlah hal yang bisa disatukan sampai malam itu ia membawakanku delapan tangkai dengan kertas kraft sisa tugas kuliah yang dikumpulkan pada hari Selasa.
Bulan Januari tidak pernah menjadi bulan yang spesial untukku. Tidak sampai aku tahu kalau ternyata ia lahir pada tanggal tiga belas di bulan pertama.
Sekarang aku duduk di meja nomor sembilan, hujan baru saja berhenti dan alunan lagu masuk ke dalam telingaku dari headset yang aku pakai. Foto kami berdua terpampang di layar iPad yang aku letakkan di atas meja di sebelah potongan cheesecake yang sudah tinggal setengah. Kami di pantai, aku mengenakan kaos berwarna putih dengan rambut terikat ke belakang dan angin bertiup begitu kencang karena beberapa helai rambutku berarah menutupi pipi. Ia berdiri di belakang, tangan kanannya merangkul pundakku dan kami tersenyum dengan mata nyaris tertutup karena matahari terik sekali.
Suara bel di atas pintu cafè berbunyi sebelum mataku menangkap ia yang masuk mengenakan mantel abu-abu dan tangan kirinya dimasukkan ke dalam saku. Tubuhnya tidak terlihat lebih kurus dari terakhir kali aku bertemu dengannya. Wajahnya bersih, kantung matanya tidak bertambah besar. Aku rasa ia sudah bisa mengatur waktunya untuk mengerjakan tugas kuliah.
Aku menghela nafas. Tanpa menghitung ulang aku sudah tahu kalau hari ini adalah hari ke-68 sejak kami tidak bersama-sama lagi. Ia terlihat biasa-biasa saja, dan aku masih berusaha mencari cara untuk mengeringkan luka.