Perempuan berbaju merah itu sudah duduk di ruang tengah apartemennya menanti seseorang sejak dua jam lalu. Ia resah, tak kunjung mendapatkan apa yang ia inginkan—kehadiran kekasihnya yang bilang akan datang. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari, harusnya mungkin saat ini ia sudah tidur. Tapi hatinya risau, ia terjaga.
Attaya beranjak dari tempatnya sambil berusaha menghubungi lagi Avicena—Sena, kekasihnya. Namun untuk yang kedelapan kali, panggilannya tidak diangkat. Ia tambah gelisah. Bukan apa-apa, tapi karena panggilannya terakhir dengan laki-laki itu tidak selesai dengan baik, Attaya jadi memikirkan hal-hal buruk.
Saat sedang telepon tadi, Sena tiba-tiba terdengar kaget. Suara seruan dari jauh dan kegaduhan yang samar-samar masuk ke telinga Attaya membuat perempuan itu jadi khawatir. Attaya langsung tanya berkali-kali ada apa? Namun Sena kerap mengatakan kalau semuanya baik-baik saja dan nanti ia akan mampir ke tempat Attaya. Telepon langsung terputus.
Yang Attaya tahu, Sena malam ini kumpul bersama teman-teman SMA-nya, hal yang kerap dilakukan Sena saat libur semester karena semua orang sudah mulai sibuk masing-masing sejak masuk kuliah. Tapi tak seperti malam yang lain, Attaya punya firasat tidak enak kali ini. Tingkat kegelisahannya seperti bertambah setiap detik dan ia masih tidak tahu di mana pacarnya sekarang.
Suara keributan dan usaha Sena untuk menenangkannya seketika menarik Attaya kembali ke masa-masa sekolah dulu. Sena sering berkelahi. Ia dan teman-temannya lebih suka menyelesaikan perkara dengan cara yang keras ketimbang dibicarakan baik-baik. Tak hanya itu, setelah berkelahi biasanya Sena pulang ke rumah Attaya dan minta diobati. Tak sekali Attaya sambil menangis sambil mengusap luka di pelipis Sena atau mengompres memar di ujung bibirnya. Ia tidak pernah marah-marah akibat ulah Sena yang membuatnya hampir gila. Attaya biasanya diam, mengunci rapat mulutnya, enggan bicara dan menjawab pertanyaan Sena yang sebenarnya bertujuan untuk mencairkan suasana.
Sena sudah mengerti akan hal itu. Ia pasti meminta maaf karena telah membuat Attaya khawatir. Tapi Sena tidak pernah berjanji untuk tidak berkelahi lagi. Ia hanya menatap kekasihnya lekat-lekat, berharap Attaya bisa mengerti.
Pada penghujung tahun terakhir pembelajaran SMA, Attaya mulai merasa Sena jarang terlibat masalah lagi. Ia senang, benar-benar senang karena ia tidak mau melihat orang yang ia kasihi terluka seperti itu. Namun hal tersebut tak bertahan lama, Sena kembali berkelahi dengan seseorang yang memiliki peran dalam hidup mereka. Namanya Gilang, sahabat Sena dan pernah menjadi penjejak dalam hati Attaya.
Ah, tapi itu masalah lama. Gilang adalah orang terakhir yang Attaya tahu pernah berkelahi dengan Sena dan sekarang semuanya sudah kembali normal antara mereka. Malah malam ini, ada Gilang di antara teman-teman yang berkumpul bersama Sena.
Sekali lagi, Attaya mencoba menelepon Sena sambil berdiri di depan televisi yang tidak menyala. Ia melihat bayangan dirinya yang berbalut kaos merah dan celana pendek berwarna hitam. Tangan kanannya memegangi ponsel dan yang kiri sibuk memainkan bibirnya. Tidak sampai nada sambung ketiga, Attaya mendengar pintu apartemennya diketuk.
Perempuan itu refleks membanting ponselnya ke sofa dan membukakan pintu sebelum ia melihat Sena berdiri dengan sweater putih dan noda bekas darah di bagian atas kerahnya. Wajah Sena tidak kotor, hanya ada memar di bagian tulang pipi dan senyum laki-laki itu tersungging. Tangannya terentang dan membungkus tubuh Attaya yang kecil jika dibandingkan dengan tubuhnya. Sena memeluk Attaya dengan erat, menenggelamkan wajahnya di leher perempuan itu dan berembus dengan amat perlahan. Berat. Lama. Sena lelah.
Belum membalas pelukan Sena, Attaya mematung di dekapan laki-laki itu dan ia merasa matanya mulai berair. Sesak di dadanya kian bertambah hingga ia tak sanggup lagi menahan tangis. Firasatnya benar, Sena berkelahi dan kali ini entah mengapa rasanya sangat mengecewakan. Bukan karena ia kesal telah menunggu lama, tapi karena dua tahun terakhir mengetahu kalau Sena sudah tidak berkelahi dan malam ini ia terlibat lagi, Attaya jadi seperti hilang harapan. Harapan untuk Sena berubah. Harapan untuk Sena agar berhenti menyakiti dirinya sendiri.