Rinan

455 17 0
                                    

Hello everybody! Balik lagi dengan Lunaryblow.. kali ini saya mau nyritain Rinan n Calla. Masih cerpen sih, tapi agak panjangan... hope you enjoy!
====^_^====

Aku mengalihkan pandanganku ke arah kanan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah kanan. Melihat percikan yang mengenai jendela kaca besar tepat di sampingku.

Hujan ya. Sepertinya langit sedang berpihak padaku.

"Hhh..." aku mendengar helaan napas dari arah depan. Tapi aku tak juga mengalihkan pandanganku.

"Kenapa harus ada hujan di hari yang indah ini? Kayanya langit lagi benci sama gue deh."

Aku tersenyum kecut mendengar gerutuan lembut itu. Baru setelah itu kugerakkan lagi kepalaku.

Aku menyeruput hot chocolate di tanganku. "Kayanya sih iya." Ujarku, kemudian terkekeh.

"Sialan! Sahabat macam apa lo."

Aku kembali terkekeh. "Gue gak pernah ngerasa jadi sahabat lo." Kataku tenang, terkekeh lagi.

Aku mendongak melihat reaksinya. Dia menekuk bibirnya, tapi matanya masih berbinar. Ia bahkan tak bisa menyembunyikan binar kebahagiaanya.

"Oke, fine! Jadi selama ini gue aja yang kege-er an." Ia bersedekap di depan dadanya. Mengerucutkan bibirnya.

Dia tidak berubah setelah tiga belas tahun berlalu. Ya, gadis di depanku ini sahabatku sejak SD, sejak masih ingusan.

Aku mendekat dan mengacak rambutnya. "Dasar bocah. Ngambek mulu kerjaannya."

"Ya habisnya lo nyebelin sih. Lo, dan hujan itu. Kalian udah berhasil bikin mood gue turun hari ini."

"Kenapa jadi nyalahin hujan juga? Dasar aneh. Dia turun juga bukan buat lo." Ya, mungkin hujan itu turun buatku.

"Siapa sih yang suka, kalo hujan turun pas lagi keluar. Kan nyusahin."

Aku menggut-manggut. "Emang sih, tapi hujan gak sepenuhnya gak berguna."

Gadis di depanku ini terlihat menaikkan sebelah alisnya, meminta penjelasan dan kelanjutan kalimatku.

Aku menyeruput lagi coklat panasku, dan menoleh lagi memandang hujan yang turun semakin deras. Semakin membuatku ingin berlari dari sini, dari percakapan ini.

"Hujan bisa menyamarkan, apapun yang lo resahkan. Dan air mata." Aku tersenyum kecut ketika mengatakannya, teringat yang kubutuhkan saat ini hanyalah hujan.

Beberapa saat kami terdiam. Aku masih menatap hujan, masih menginginkan berada di sana. Sementara gadis di depanku, aku tak tahu. Mungkin dia bahkan tak mengerti apa maksudku.

"Duh," aku menoleh ke depan ketika dia bersuara, "kok malah jadi ngomongin hujan sih."

Aku tersenyum kecil mendengarnya. Andai dia tahu, aku lebih memilih membicarakan hujan ini daripada kembali pada topic kami sebelumnya. Andai dia tahu, aku hanya ingin menghindar.

Pengecut? Memang. Kalau saja aku tak sepengecut ini, mungkin kejadiannya lain lagi. Mungkin saat ini kami tidak membicarakan orang lain, mungkin kami sedang membicarakan...kami.

"Jadi...gimana menurut lo?" Tanyanya dengan hati-hati.

"Gimana apanya?" Aku balik bertanya.

Gadis itu memutar bola matanya yang bulat. "Gak usah belaga bego deh. Eh, lo kan emang bego ya." Dia kemudian terkikik.

"Sialan lo! Begoan mana sama lo?!"

"Ya begoan lo lah. Lo aja..." Dia tak melanjutkan kalimatnya. Membuatku menaikkan sebelah alis.

"Gue kenapa? Ganteng? Emang." Aku terkekeh lagi. Hah! Palsu.

"Idih! Amit amir! Udah ah, jangan muter-muter lagi. Jadi gimana?" Tanyanya lagi.

"Ya gimana? Kenapa tanya sama gue. Yang ditembak lo juga." Aku menelan pahit.

Gadis itu tersenyum kecut. "Lo gak pengertian banget ya. Gue tanya sama lo, sebagai sahabat." Kali ini aku yang tersenyum kecut.

"Cal, yang mau jalanin hubungan itu kan lo. Ya lo tanya lah sama hati lo sendiri. Itu semua tergantung sama perasaan lo, hati lo. Keputusan apapun yang lo ambil, gue akan mendukungnya. Gue tahu lo bisa menentukan jalan kebahagiaan lo sendiri." Terangku sembari menatapnya lembut. Aku agak kaget bisa mengucapkannya dengan tenang.

"Jadi gitu menurut lo. Lo bakal dukung keputusan apapun yang gue ambil?" Tanyanya, memastikan mungkin.

"Ya." Aku berkata lirih. Kembali menatap langit yang seakan menangis.

Sial, aku benar-benar butuh hujan itu. Untuk saat ini, atau waktu yang lama. Aku benar-benar harus pergi. Harus.

"Cal, gue duluan ya. Gue lupa harus ngerjain sesuatu." Kataku sambil berdiri. Kemudian melangkahkan kakiku.

"Tapi Nan-"

"See ya, Cal. Bye."

Aku mendorong pintu kaca itu dan segera berlari keluar. Tanpa mengambil payung yang memang kubawa sejak datang ke sini. Biar payung itu untuk Calla, dia lebih membutuhkan. Dia tak membawa pelindung apapun, aku tahu. Itu kebiasaan.

See? Aku mengalah lagi. Hanya supaya teman masa kecilku itu tidak kehujanan, tidak kedinginan. Hanya supaya sahabat separuh umurku itu tidak sakit.

Tidak, itu bohong. Aku bukannya mengalah, aku kalah. Aku pengecut. Selalu menyembunyikan semua yang harusnya kukeluarkan. Dan kali ini aku benar-benar kalah. Game over.

Ah, sial, aku benar-benar butuh hujan.

***
Gimana gimana? Belum selesai nih, tunggu kelanjutannya, oke?
Jangan lupa vommennyaa, dan jangan lupa baca cerita ku yang lain! See ya!

Mengejar HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang