Tiga

19.2K 338 38
                                    

"Berapa bawangnya merah bang?" tanya seorang pria berkacamata begitu tiba di depan lapakku sukses memotong pembicaraanku dengan Firman

"Dua puluh enam bang...." jawabku

"Eh kok mahal kali? Gak dua puluh lima aja bang?" tawarnya

"Mau ambil berapa kilo?"

"Sepuluh kilo bang"

"Kalau ambil sepuluh kilo, ok lah kali dua puluh lima aja " jawabku sambil tersenyum

Kuserahkan plastik ukuran sepuluh kilo ke si kacamata, yang sudah langsung berjongkok di depan tumpukan bawang solok. Dengan teliti dia memilih bawang yang sesuai dengan keinginannya. Kudengar berkali-kali si bawang berbunyi

tik... tik... tik...

"Jangan dibelah-belah bawangnya bang, nanti sisa yang kecil semua" tegurku ke si kacamata agar tak membelah-belah bawangku. Bisa rugi banyak kalau sampai yang tersisa cuma bawang-bawang yang kecil. Tak akan laku nantinya bawang yang kecil kalau dipaksakan dijual dua puluh lima ribu. Terpaksa jual murah kalau sudah begitu. Sesudah kutegur, si kacamata tak lagi membelah-belah bawang dihadapannya.

"Ternyata berguna juga ditegur...." pikirku

"Bang, bisa diantar gak ya?" tanya nya begitu kantong plastik yang kuberikan padanya sudah penuh terisi.

"Kemana bang?" tanya Firman begitu kuberikan isyarat dengan lirikan mataku padanya

"Kesitu bang, depan SD Santa Maria. Gak jauh kok...." Sambungnya

"Iya bang. Nanti kubantu antar kesana" ujar Firman begitu melihatku selesai menimbang bawng si kacamata.

"Ini uangnya bang" kata si kacamata menyodorkan uang dua ratus lima puluh ribu padaku

Kuterima sodoran uang si kacamata kemudian mengangkat bawang dari timbangan dan nenyerahkannya ke Firman.

"Yakin bisa kau angkat dek?" tanyaku yang sedikit sangsi dengan kemampuan Firman

"Aman lah tu bang...." jawabnya berusaha meyakinkanku.

Tak lama kemudian, Firman sudah mengekor si kacamata sambil mengangkat kantong plastik berisi bawang sepuluh kilo. Kubakar lagi marloboro merah ditanganku untuk mengusir dingin yang meraja sambil menyusun tumpukan bawang di hadapanku agar terlihat rapi kembali

"Bang........"

Kupalingkan kepalaku untuk melihat orang yang tengah menyapaku. Kulihat sesosok laki-laki yang beberapa waktu yang lalu cukup dekat denganku.

"Oh kau Guh. Kenapa?" tanyaku sambil terus berkutat dengan kegiatanku.

"Kok kenapa? Abang jualan kok gak kabari aku?" tanya nya

"Hah? Kenapa juga aku harus kabari kau guh? Aneh kau"

"Abang besok ngapain?" Jalan kita ya?" ajaknya

"Besok aku gereja"

"Sore bang, bukan pagi nya. Pagi juga aku jualan lah. Lagian kayaknya gak mungkinlah abang besok gereja" ajaknya lagi sedikit memaksa.

Kuhisap kembali rokok yang tetap melekat dibibirku tanpa menjawab pertanyaannya. Sementara itu si Teguh tetap berdiri menunggu jawabanku.

"Gimana bang?" tanya nya lagi tak sabaran

Pembicaraan kami terputus karena adanya pembeli. Ibu-ibu kaya lemak yang menawar kentangku dengan harga luar biasa murah. Kentang yang kutawarkan sebesar enam ribu rupiah perkilogram nya ditawar si ibu gapuak menjadi empat ribu rupiah.

NARAPIDANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang