Matahari

41 2 0
                                    

"Pranggg..."

Suara piring kelima yang jatuh sampai sore ini, bukannya tak sengaja tetapi seorang gadis yang seminggu ini mengurung dirinya di kamar ingin menyalurkan kesedihannya dengan berbuat brutal. Namanya Putri, sesuai namanya, sangat manja dan ceria, selalu ingin didahulukan, dan apapun permintaannya harus dipenuhi.

"Keluar!!!"

"Sampai kapan kakak bersikap seperti ini? Menyusahkan saja..." balasnya tak kalah keras. Risva, adik tirinya menutup kencang pintu cokelat kamar kakaknya dengan sekali hentakan hingga membuat nametag kamar yang bertuliskan "Putri's room" itu bergoyang untuk beberapa saat.

Seminggu sudah hal ini selalu berulang-ulang, seperti adegan film yang direplay pada adegan paling dramatis. Bahkan pembantu rumah mereka tak tahu harus berbuat seperti apa, bicara salah, diam pun tambah salah.

*

"Non, jangan dipaksakan. Nyonya pesan sama bibi hari ini Non jangan dulu ke sekolah." Ujar Bi Mina seraya menaruh mangkuk bubur di meja sebelah tempat tidur lalu memperhatikah Nona mudanya yang baru saja selesai memakai seragam sekolah.

"Tapi Bi, Putri sudah seminggu tidak masuk sekolah"

Bi Mina tidak habis pikir, dia sebenarnya kasian dengan Nona mudanya yang tidak diperbolehkan keluar seminggu ini, tetapi dia tak dapat membantah perintah Nyonya. Dia berdiri di tempat yang serba salah, memilih maju atau mundur pun risikonya sama.

"Non, Nyonya bilang jangan ada bantahan, Bibi juga sedih lihat Non di kamar terus, tapi Bibi mau bagaimana lagi, Bi-

"Ok Bi, Putri tidak akan berangkat sekolah, tapi Putri ingin pergi ke Taman yang biasa Putri datangi di dekat gerbang kompleks perumahan. Sekarang Bibi keluar, Putri mau istirahat. " Potong Putri cepat, dia tahu dengan jelas karakter ibu tirinya yang tak ingin dibantah. Putri juga kasihan melihat Bi Mina yang dari kecil sudah menjaganya, dia tak ingin Bi Mina dipecat karena ulahnya.

Akhirnya Bi Mina keluar kamar Putri dengan hati-hati menutup pintu. Ia menghela nafas dalam, perasaannya campur aduk. Sedari Putri berumur 5 tahun, ia sudah bekerja di sini, baru kali ini ia melihat Nona mudanya murung. Sifat manja dan cerianya seperti hilang ditelan bumi, bahkan dulu ketika Putri sedih ingin meminta dibelikan sesuatu pada Papanya, ia tak separah seperti saat ini. Bi Mina lebih rela jika ia harus lelah membereskan kamar Putri yang berantakan karena bercanda dengan temannya daripada membereskan pecahan piring dan mendengar tangis memilukan Nona mudanya.

**

Putri kini duduk diatas kursi taman sambil menghentak-hentakkan kakinya menunggu Bi Mina yang disuruhnya membeli minuman dingin. Merasa bosan Putri bangkit membawa serta tongkatnya. Baru beberapa langkah ia tersandung dan menabrak seseorang.

"Hei, kalau jalan lihat-lihat dong, Jalan pakai mata, gimana sih!"

Jeda,

Putri terkejut mendengar suara melengking itu, baru kali ini ia diteriaki secara kasar seperti itu. Jangankan menyahut, menatap saja dia sungkan, hanya menunduk memperhatikan tongkatnya yang jatuh.

"Maaf" kata itu yang terakhir ia bisikan, mungkin wanita itu merasa kasihan dengan dirinya dan berlalu pergi sambil menabrak bahunya secara sengaja.

Putri masih belum terbiasa dengan kondisi barunya, ia masih jatuh terperosok, ia masih belum bisa membiasakan diri akan tatapan orang, ia belum bisa dengan lancar berjalan dengan tongkat barunya. Fakta bahwa ia cacat menghantam harga dirinya, fakta bahwa ia sendiri penyebab kakinya kini tak bisa berjalan dengan normal, dan fakta bahwa ia yang membuat orang yang dicintai satu-satunya di dunia setelah ditinggal ibunya saat berusia 10 tahun,

Papanya,

Meninggal, tepat saat bersamanya pergi merayakan ulang tahunnya. Mataharinya yang selalu menyinari hidupnya kini tenggelam. Menyisakan kegelapan, merenggut semua yang dia miliki dan hanya menyisakan sebuah penyesalan,

"Kenapa bukan aku yang mati?"

Halo, disini penulis pemula yang ingin menjadikan idenya ke dalam bentuk tulisan. Aku terbiasa membuat cerpen, dan sekarang sedang belajar membuat cerita yang bersambung. Susah ya, mesti penuh ketekunan. Salut kepada semua penulis di luar sana. Terkadang kita gampang mengkritik, sekalipun ide yang kita punya brilian. Ide tetaplah ide, tempatnya hanya di kepala, sampai kita lawan rasa malas dan mencoba mengeksekusi ide tersebut dan menjadi sebuah cerita. Respect banget!!! 

The Name of StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang