Aku terlambat.
Terlambat dihari keduaku bersekolah. Betapa bodohnya aku. Semalam, aku baru tidur hampir jam 3 pagi. Bayangkan saja? Aku menghabiskan waktu sampai hampir jam 3 hanya dengan mendekorasi kamarku yang memang sangat berantakan. Ya, kalian tahu lah aku baru saja pindah. Sangat lelah, aku harus bangun kembali jam setengah 6 untuk bersekolah. Jadi, aku hanya tidur 3 jam, itupun tidak sepenuhnya 3 jam.
Dan ya, saat ini aku sedang mendengarkan ceramah seorang guru yang bawelnya setara dengan Galie. Telinga ku panas mendengarnya. Kalian tahu? Rasanya aku ingin menyumpal mulut guru itu dengan benda apapun agar guru itu tidak lagi mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat bagi ku, tapi bermanfaat untuknya.
"Jangan ulangi lagi, kamu baru dua hari bersekolah disini. Sebagai hukumannya, bersihkan gudang di samping kamar mandi perempuan!"
Gila.
Baru semalam aku membersihkan sekaligus mendekorasi kamar ku dan sekarang aku diperintahkan oleh guru itu membersihkan gudang bodoh itu? Aku butuh istirahat. Bukan membersihkan gudang bodoh itu.
"Tapi bu, sa-"
Brukkk.
Suara benda jatuh menginterupsi omongan ku. Refleks, aku menoleh ke sumber suara benda jatuh tadi.
Tidak, tidak. Ralat.
Itu bukan benda jatuh. Itu manusia jatuh! Tepat disamping kanan aku. Seorang perempuan. Masih tersungkur, tidak bergerak sedikitpun. Ada apa dengannya? Mengapa tidak langsung berdiri?"Hei, lo gapapa? Ayo bangun."
Aku mengulurkan tangan ku, berniat untuk membantunya. Perempuan itu tidak meraih tangan ku yang terulur untuk membantunya. Perempuan itu mulai mendongakkan kepalanya.
Andara!
Si perempuan pembaca novel.
Aku benar-benar kaget ketika tahu siapa perempuan yang jatuh tepat samping kanan ku.
"Andara Bangun! bersihkan gudang sebelah kamar mandi perempuan bersama anak ini sekarang!"
Gila.
Benar-benar gila.Aku membersihkan gudang bodoh itu bersama Andara?
Andara sudah berdiri saat ini. Tangan kanannya memegang novel, dan tangan kirinya memegang dagu nya.
Ada apa dengan dagunya?
Guru itu berbalik dan meninggalkan ku dan Andara. Tanpa berkata apapun, aku berjalan meninggalkan Andara, dan menuju gudang bodoh itu. Aku ingin segera menyelesaikan tugas dari guru yang aku tidak tahu namanya itu.
Debu dan hawa panas menyambut ku ketika aku membuka pintu gudang. Sangat gelap. Aku mencoba meraba-raba dinding untuk mencari sakelar. Yang aku raba ternyata bukanlah dinding, melainkam sebuah rak dari kayu.
Pranggggg.
Benda terjatuh dari rak itu, dan mengenai dahi ku. Cukup sakit. Dan aku perkirakan, dahi ku memar. Tapi masa bodolah, yang aku butuhkan sekarang hanya sakelar. Sakelar.
Tik.
Lampu menyala. Siapa yang menyalakan? Aku lihat keliling gudang ini, dan pandangan ku berhenti didekat pintu. Memandang Andara, yang berdiri didekat pintu dan sakelar. SAKELAR! Ya Tuhan. Aku sudah jauh sampai-sampai dahi aku tertimpa benda yang keras, ternyata sakelar itu berada didekat pintu? Aku idiot memang.
Tangan Andara masih memegang dagunya.
Tunggu.
Ada darah mengucur keluar dari sela-sela jari tangannya. Oh tidak. Dagunya berdarah! Mengapa aku baru menyadarinya?
"Andara, lo tunggu sini."
Aku memegang pundaknya dan menggiringnya duduk di sebuah meja usang. Untung saja, Andara tidak menolak.
Aku berlari terburu-buru menuju UKS. Sejujurnya, aku tidak tahu dimana letak UKS. Kalian tahu bukan? Aku baru 2 hari bersekolah disini. Jadi, maklumi saja jika aku belum hafal tempat-tempat disekolah ini.
Dan ya, aku sudah menemukannya. Tepat disebelah ruang kepala sekolah. Aku segera masuk, dan mencari kotak P3K.
Setelah kotak P3K sudah ditangan, aku berlari kembali menuju gudang.
Dalam perjalanan menuju gudang yang memang tidak jauh, terbesit 1 pemikiran yang terlintas diotak ku.
Mengapa aku perduli dengan Andara?
Ah sudahlah! Pemikiran itu aku kesampingkan sementar, yang terpenting, luka Andara terlebih dahulu. Tambah gawat jika sampai Andara kehabisan banyak darah.
"Hoshh hosshh diam disitu. Jangan banyak bergerak."
Disinilah aku. Sudah sampai digudang tadi. Dengan nafas terengah-engah, aku mengeluarkan segala benda untuk mengobati luka Andara.
"Tahan sedikit, ini akan sedikit sakit." aku membersihkan darah yang terdapat pada tangan dan dagu Andara, dan memberinya antisptic. Setelah itu, aku menutupnya dengan perban.
Dan kalian harus tahu. Disituasi seperti ini, ekspresi Andara tidak menunjukan ekspresi apapun. Hanya datar, datar, dan datar. Dia tidak meringis kesakitan, dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Aneh memang.
Tidak. Dia tidak aneh. Dia kocak. Ah atau apalah itu, yang terpenting luka Andara sudah terobati.
"Lo duduk sini aja, biar gue yang bersihin ini semua." aku membiarkan Andara untuk duduk, dan tidak membersihkan gudang ini bersama aku. Sebagai laki-laki, aku tidak tega untuk membiarkan seorang perempuan yang sedang dalam keadaan seperti itu membersihkan gudang yang sangat kotor ini.
Aku merapikan alat-alat P3K itu dan menaruhnya diatas meja.
"Gue bukan cewek manja. Yang luka dagu gue, bukan kaki atau tangan gue. Gue masih bisa jalan dan bergerak."
Loh.
Sifat 'keharimau'an nya muncul kembali. Cewek satu ini tidak tahu berterimakasih atau bagaimana sih?
Ah entahlah, lebih baik aku segera menyelesaikan tugas membersihkan gudang ini daripada berlama-lama berdua dengan cewek beku pembaca novel itu.
Aku ingat. Aku ingat pemikiran yang terbesit di otak gue saat perjalanan ke gudang ini.
Mengapa aku peduli dengan Andara?
Mungkin refleks(?)
****
Hiiiii. Maaf kalo absurd. Semoga suka yaaaaa, vote and comments pleasee.
-Choirun Nissa Ramadhan Setiawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andara.
Teen FictionRajen, laki-laki asal Indonesia yang lama menetap di negeri Orang, tepatnya Inggris dan kembali lagi ketempat kelahirannya atas kemauan nya sendiri dengan menerima resiko yang cukup tidak mengenakan. Salah satunya, Rajen tinggal seorang diri disebu...