"IBUUU!"
Setiap otot di tubuhnya menegang mendengar teriakan itu. Ditatapnya seorang gadis di layar lebar, tengah meronta-ronta di atas kasur. Apakah dia tidak waras? Kesurupan? Di saat-saat ini seharusnya ia memperhatikan hal-hal ganjil gadis itu. Namun ia hanya membayangkan rasa sakit yang dialami gadis itu.
"Itu, ITU! Aku melihatnya, ada seperti lekuk tubuh perempuan di sampingnya!" teriak seorang pria beruban dengan jas laboratorium-pasangan kerjanya-sambil menunjuk-nunjuk ke arah layar. Pria itu menghentikan video yang dimainkan, menunjuk ke arah sebelah gadis yang tengah menangis kencang.
Wanita itu tersentak melihat tangan pasangan kerjanya berada di tengah layar. Ia tatap lekat-lekat apa yang ditunjuk. Dikernyitkannya dahi. Mata sipitnya tidak melihat apa-apa dari balik kacamata tebal yang ia gunakan.
"Di sana tidak ada apa-apa," ucapnya.
"Kau tidak melihatnya? Kau serius, Fy? Ada sesuatu di samping anak itu!"
Ia menggeleng, membiarkan rambut pirang pendeknya menyapu lehernya yang berkeringat. "Tidak."
Pria itu memainkan videonya kembali, mengembalikan suara teriakan dan tangisan gadis itu. Fy menggigit bibirnya tiap kali mendengar rintihan gadis itu.
"... Itu asalnya," ucap pasangan kerjanya tiba-tiba. Fy membuka matanya lebar-lebar. Yang benar saja, sebuah luka yang mengeluarkan darah serta nanah terukir di pundak kiri gadis itu, tepat di sebelah pasangan kerjanya tunjukkan sebelumnya. Dalam beberapa detik, luka yang tadinya hanya satu goresan berkembang, melebar, mengukirkan gambar tengkorak tengah membuka rahangnya lebar-lebar. Darah menetes ke selimut putihnya.
Fy tercengang. "Itu... itu gila!" teriaknya sambil menjambak rambutnya sendiri. Bibirnya bergetar menatap gadis itu membelalakan mata, menampilkan hanya bagian putih matanya. Tak lama kemudian, layar ia yang ia tatap dimatikan. Ia pun langsung terduduk di kursi rodanya.
Pasangan kerjanya terus menggumam tidak jelas sambil menulis entah apa di kertas-kertasnya, membiarkan Fy ternganga menatap layar hitam itu.
"Kalau tidak salah, ini rekaman tadi malam. Dua hari yang lalu, luka yang tergambar merupakan gambar... sayap kupu-kupu." Pria itu menggaruk pelan kepalanya. Ia kemudian menoleh ke arah Fy. "Menurutmu, Fy?"
"Itu mengerikan," bisiknya dengan wajah yang tegang.
"Oh, baiklah... kau ingin susu hangat?"
Fy keluar, menutup pintu tanpa suara.
Pria tua itu mendecak kasihan. "Ah, betapa tidak enaknya menjadi seorang ibu."
***
Fy berlari dengan langkah-langkah kecilnya. Suara sepatu hak yang ia gunakan bergema di koridor terang itu.
Sekarang baru jam empat pagi, dan video itu direkam pada jam sebelas malam. Ia merasa bersalah menaruh gadis itu di tempat ini.
Ia berbelok ke kanan, lalu membuka pintu kaca yang paling pojok. Di sana gadis itu terkulai lemas. Fy mendekatinya perlahan-lahan, meneliti tiap senti kulit pucat gadis itu yang kini telah dipenuhi koreng. Terlihat bahu kirinya dibalit perban.
Gadis itu membuka mata hitamnya perlahan, merasakan kehadiran Fy di sampingnya. Ia tersenyum lemas.
Fy meneguk ludahnya. Tangan gadis itu berkeriput, kantung matanya terlihat sangat jelas, dan matanya sangat merah. "Kau tidak mengapa, sayang?" tanyanya pelan seraya membelai rambut hitam gadis itu.
"... Sakit," ujarnya lirih. "Tapi rasa sakitnya hilang saat Ibu masuk tadi...."
Mata Fy berkaca-kaca. Ingin dipeluknya anaknya itu. Namun ia takut pelukannya akan menyakitkannya.