SATU

7.2K 537 59
                                    

SATU

TIDAK ada yang spesial hari ini selain mata kuliah umum yang berakhir dengan tanpa tugas. Ya, bagiku itu sangat spesial. Karena, sebagai mahasiswa baru Desain Komunikasi Visual yang punya banyak tugas menguras tenaga dan tak ada henti-hentinya sudah merupakan keuntungan luar biasa besar.

Seperti biasa, jalan bareng keluar dari gedung sebelum berpisah. Temanku yang satu ke arah sana, yang satu lagi ke sana, dan yang lainnya entah menuju ke mana. Aku, yang tinggal di lokasi agak jauh dari kumpulan mahasiswa berjalan pulang sendiri.

Hmm ... apakah aku harus memberitakan namaku? Sekadar mempermudah untuk mengenalku, namaku Fauzi. Orang-orang biasa memanggilku dengan Faw. Faw-Faw-Faw. Di mana-mana mereka selalu suka mengulang namaku bahkan ketika niatnya memang bukan untuk memanggil. Apa istilah gaulnya? Cuma miscall, ya? Cukup jengkel ketika terpaksa meladeninya, tapi apa boleh buat. Kuakui memang panggilan Faw itu enak disebut. Jika aku berposisi sebagai temanku mungkin aku akan melakukan hal yang sama.

Omong-omong, aku masih mahasiswa baru, sedang menginjak pertengahan tengah semester. Dan kau harus tahu, baru pertama masuk kuliah saja aku sudah kesulitan mengurus waktuku. Orang awam mungkin ketika mendengar tugas cuma ngegambar, ngegambar, dan ngegambar itu mudah daripada harus menghafal rumus, memainkan logika, atau menghafal ilmu. Tapi nyatanya tidak semudah yang kaubayangkan. Pernah sekali waktu—atau tepatnya beberapa waktu aku harus mengorbankan separuh jam tidurku untuk menyelesaikan tugas, mengabaikan hobi menulisku, bahkan aku merasa sudah muak menggambar setiap hari hingga tidak ada niat untuk menggambar bebas.

Tapi, seribet apapun itu, aku tidak pernah sekali pun menyesal memilih jurusan ini.

Selagi berjalan dan mengulas waktu, aku baru menyadari siang itu terasa tidak wajar. Harusnya daerah tempat di mana aku berkuliah sekaligus tinggal ini sangat panas. Dan tepat pada pukul dua siang ini, aku mendapati langit mendung. Di ujung sana awan kelabu menggumpal dan berangsur-angsur merayap mendekat. Angin pun tidak setenang sebelumnya, bahkan kaus tebal yang kugunakan ditembus angin. Mataku pedas. Aku mulai merinding.

Untungnya tempat tinggal atau kosku tidak terlalu jauh. Sebelum hujan datang, aku sudah tiba di tempat, bahkan masuk ke kamar. Mengapa aku sebut beruntung karena kos tempat tinggalku ini tidak berbentuk seperti rumah biasa (dari yang kutebak, sepertinya kos-kosan masa kini mulai mengalami perkembangan bentuk sesuai kebutuhan). Bangunan ini diciptakan memang khusus untuk disewakan. Terdiri dari banyak kamar dengan kamar mandi masing-masing, dan yang paling anehnya adalah rumah ini bolong di tengah, sehingga bila hujan, air pun tetap bisa masuk. Lahan bolong itu disemen sehingga bisa digunakan untuk lahan parkir motor.

Mengunci pintu kamarku, membuka jendela supaya tidak gerah, aku meletakkan buku gambar berukuran A3-ku di sembarang tempat beserta dengan tas ranselku. Berganti pakaian secepat mungkin, aku langsung merebahkan diri di kasurku.

Kemarin aku menghabiskan waktuku begadang lagi, dan kuliah hari ini tidak henti-hentinya dari jam setengah tujuh pagi sampai siang ini. Lega karena sisa hariku tidak ada apa-apa lagi selain tugas menumpuk, kuputuskan untuk menyegarkan pikiran sejenak saja. Mataku benar-benar lelah, kepalaku mumet seolah aku lupa cara untuk bernapas.

Kubuka ponselku, tidak banyak pesan personal, tapi beberapa grup memenuhi notifikasi. Misalnya seperti grup kepenulisan yang kuikuti. Memang tidak spesifik membahas kepenulisan, malah kebanyakan gosip atau cengkerama bertebaran. Selain itu juga ada grup angkatan kelas sewaktu SMA. Mereka tengah mendiskusikan acara pertemuan dan aku tidak sedikit pun berniat ikut berdiskusi.

Paling hanya wacana.

Sisanya grup ini, grup itu, lalu obrolan personal dari teman-teman dekat, dan ... ah, tiba-tiba aku mengantuk.

Meletakkan ponselku kembali, kupejamkan mataku perlahan karena terasa sangat pedih. Kunikmati senyap serta suhu yang merendah dari biasanya, merupakan sebuah keadaan yang sangat langka. Selain itu pun aku menikmati ketenangan kos, karena biasanya kos sangat ramai oleh mahasiswa-mahasiswi lainnya. Tidak ada yang menyalakan musik, mengobrol kencang, bersenda-gurau, semuanya sedang sibuk masing-masing ... atau memang sedang pergi? Entahlah, aku kurang peduli. Tubuhku relaks, deru napasku lebih lambat dari sebelumnya.

Lalu rintik-rintik itu datang. Perlahan. Dan tiba-tiba saja membesar.

Embusan angin dingin menyusup ke dalam kamarku tetapi aku tak berniat sedikit pun menarik selimut. Masih ingin merasakan dingin. Kautahu, seperti yang kubilang tadi, di sini memang agak langka cuaca bersahabat. Apalagi jika masuk jalan raya: kontainer di mana-mana, debu, asap kendaraan berat, dan kebisingan. Kau tidak akan betah keluar, lebih baik mendekam dan menikmati masa-masa adaptasi perpindahan tempat tinggal dan sistem menuntut ilmu yang baru. Seperti diriku saat ini.

Tirai kamarku berayun gemulai. Derasnya hujan terdengar tajam dan keras. Dari yang kuduga, di luar sana pasti banjir. Dan untungnya aku tidak punya urusan apa-apa lagi untuk keluar. Aku tenang.

Petir memecah udara.

Masih, aku tidak berniat menarik selimutku.

Petir lagi.

Lagi. Petir lagi.

Hujan menipis, yang kemudian menebal lagi.

Tirai kamarku berkibar semakin kencang.

Kupejamkan mataku sekali lagi, kantuk mulai menarikku ke dalam alam tak sadar. Meskipun ponselku bergetar oleh notifikasi, tetap aku mulai hilang kesadaran.

Dan di saat itu, dari balik kelopak mata, mendadak penerangan samar menghilang, seperti tangan yang mengepal cepat.

Kelopak mataku tersentak terbuka, tapi aku tidak menemukan penerangan jelas di sana. Hanya ada berkas cahaya tipis matahari yang tersisa, datang dari arah jendela di belakangku.

Aku bukannya punya fobia atau trauma, hanya saja jantungku tiba-tiba berdetak kencang.

Tegang, tiba-tiba rasa mengantukku sirna.

Sialan. Kenapa harus mati lampu di saat-saat begini?

Blackout [2015]Where stories live. Discover now