Berjalan ditengah gelapnya malam ditemani dengan ribuan air yang membasahi seluruh tubuhku serta wajahku yang ikut mengeluakan air dari kedua mata ku. Entahlah, aku dapat mimpi itu. Bukan mimpi buruk. Bukan mimpi indah. Aku tidak tau.
Yang aku tau, hanya ada dia mengenakan jas sekolahnya. Hanya ada dia sedang tertawa bersama dengan teman temannya yang dulu belum mengkhianatinya. Hanya ada dia dengan rambut panjang melebihi bahunya sedang tersenyum kearah ku. Hanya ada dia dengan kaca mata minusnya sambil menatap mataku dalam. Hanya ada dia yang sedang menggendong anak kecil yang memegang es krim vanilla. Hanya ada dia yang sedang memainkan jari jarinya diatas deretan balok-balok kecil berwarna putih gading dan hitam. Hanya ada dia yang sedang menangis karna ibunya meninggalkannya. Hanya ada dia dengan sepatu sportnya berlari disampingku mengelilingi taman dipagi hari. Hanya ada dia yang sedang mengenakan gaun biru dongker panjang. Hanya ada dia.
Entah itu mimpi buruk atau bukan. Aku hanya.....
Merindukannya.
Tetapi aku tidak ingin merindukannya. Mama bilang padaku untuk tidak memikirkannya lagi. Papa juga bilang begitu. Kakak mengikuti Mama.
Aku tidak bisa. Tidak bisa untuk tidak merindukannya. Tidak bisa untuk melupakannya. Tidak bisa merelakannya.
Mimpi yang sama selalu datang disetiap malam. Mimpi yang selalu menampilkan dia. Mimpi yang selalu menampilkan moment dia. Mimpi yang sama. Tidak ada yang berbeda. Selama satu tahun terakhir ini, mimpi itu selalu sama. Tentang dia. Aku takpernah memimpikan hal lain. Hanya dia.
Tapi mimpi kali ini berbeda. Hanya berbeda diakhir mimpinya. Dia yang sedang berdiri menggunakan dress putih pendeknya. Berdiri didepan cermin besar. Berdiri dengan rambut panjangnya yang diikat keseluruhan diatas dan hanya menyisakan beberapa helai disamping telinganya. Berdiri dengan mengenakan sepatu hak yang tidak terlalu tinggi. Berdiri dengan make up natural tidak terlalu menor diwajahnya. Berdiri dengan mengenakan kalung perak yang aku berikan padanya. Berdiri dengan gelang yang bertengger dipergelangan tangannya. Gelang yang dulu juga ku berikan disaat hari ulang tahunnya. Dia berdiri didepan cermin. Dia tersenyum didepan cermin. Dan dia mengucapkan kata aku menyayangimu selalu.
Ending mimpi itu berbeda dengan mimpi sebelumnya. Dia tidak pernah mengucapkan kata-kata itu. Ya. Tidak pernah. Bahkan membalas kata kata ku yang mengucapkan aku menyayanginya saja tak pernah dibalas olehnya.
Dia pemalu. Dia terlalu tertutup. Dia pendiam jika bersama orang baru. Dia...berbeda. Jelas dia berbeda, dia tidak seperti Barbara. Dia tidak seperti Shanin. Dia kutu buku. Dan aku suka.
Dia bukan Barbara yang memimpin organisasi dance dan terkenal friendly. Dia bukan seperti Shanin yang menjadi ketua cheerleader. Dia adalah dia. Dia bukan orang lain. Dan aku kembali mengatakan bahwa dia.... berbeda.
Dan perbedaan dia itu membuat aku menyukainya. Dan karna aku menyukainya, hidup disekolahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Dan karna hidup disekolahnya berubah, baru kali itu aku membenci perbedaan dan perubahannya.
Aku menyesal menyukainya. Aku menyesal mendekatinya disekolah dulu. Aku menyesal membawa dia kedalam kehidupanku. Aku menyesal memberikannya bunga di jam sekolah. Aku menyesal memberikannya bekal disaat dia berlatih drumband. Aku menyesal menggendong tubuh lemahnya disaat dia lupa mengisi tubuhnya energi. Aku menyesal melakukan hal manis kepadanya disaat jam sekolah. Aku menyesal.
Dan aku menyesal, karna aku, dia sakit.
Aku penyebabnya. Aku penyebab dia menggunting rambutnya. Aku penyebab dia tidak masuk selama seminggu. Aku penyebab dia membanting handphonenya. Aku penyebab dia menangis dalam diam. Aku penyebab dia tidur didalam gudang sekolah yang dingin. Aku penyebab dia menderita.
Aku, Niall Horan, penyebab dia meninggal.
Aku. Aku. Aku.
Aku yang katanya sayang dengan dia. Aku yang katanya mencintai dia. Aku yang katanya ingin menolongnya. Aku yang katanya selalu ada disampingnya. Aku yang katanya akan memberikan segalanya untuk dia.
Aku. Aku. Aku.
Aku benci diriku. Aku benci diriku. Aku benci diriku.
Aku. Benci. Aku.
Dia menggunting rambutnya karna Shanin, yang notabennya sangat menyukaiku, sudah menggunting asal rambut panjangnya. Dia tidak masuk seminggu karna Shanin menggunting baju seragam dan rok sekolahnya. Dia membanting handphone nya karna Shanin terus menerus menerornya. Dia menangis dalam diam karna Shanin membuat goresan luka dibatinnya. Dia tertidur didalam gudang sekolah karna Shanin mengurungnya semalaman. Dia menderita karna Shanin.
Dia meninggal karna aku. Aku penyebab Shanin melakukan semua hal bejat itu. Aku penyebab teman-temannya mengkhianatinya. Aku penyebab semua anak-anak disekolahku dulu membullynya. Menumpahkan segala jenis makanan dan minuman kepadanya.
Aku benci aku.
Andai saja aku cukup tau diri dan tidak mendekati dia lebih dekat. Dia tidak akan meninggalkan ku disini. Sendiri. Membutuhkan tangan mungilnya menyeret aku kedalam toko buku. Membutuhkan lengan kecilnya untuk memelukku disaat aku membutuhkan itu. Membutuhkan bibir itu mengucapkan kata aku menyayangimu. Membutuhkan pesan singkat yang selalu dikiriminya setiap tengah malam disaat dia tidak bisa tidur. Membutuhkan dia dalam keadaan dimana pertama kali aku melihatnya tertawa bersama teman satu satunya.
Aku, Niall Horan, membutuhkan dia.
Membutuhkan dia, Alika Namudani.
Alika. Alika. Alika.
Perempuan berambut panjang sebahu. Perempuan berkacamata minus. Perempuan yang sering memainkan piano disaat dirinya sendiri. Perempuan yang selalu membawa buku didekapannya. Perempuan yang selalu membaca novel romansa dan novel fantasy. Perempuan yang kukira hanya fiksi. Perempuan yang rela disakiti karena ku.
Alika.
Alika.
Aku tak pernah bosan menyebut namanya. Entah, setiap aku menyebutkannya, perutku melilit, perutku geli. Seperti kupu-kupu sedang menggelitiki ku. Tapi sekarang, aku merasakan sesak saat menyebut namanya.
Alika.
Tolong bantu aku mengembalikannya kedalam dekapan ku. Tolong bantu aku.
Ribuan air masih turun membasahi tubuhku dan membasahi seluruh jalanan bahkan seluruh kota. Aku, dengan menggunakan hoodie dan menggunakan topi hitam, masih berjalan lemah. Berniat ingin mengunjungi perempuan itu. Berniat ingin mengecup keningnya. Berniat ingin memeluknya. Berniat ingin menariknya kembali.
Aku terduduk lemah ditanah yang basah karna air hujan ini. Menaruh bunga tulip berwarna putih kesukaannya diatas tubuhnya. Haha tubuh. Bukan tubuh, tetapi gundukan tanah yang berisi tubuhnya didalam.
Aku mengecup papan nisannya lama lalu memeluknya bagaikan dirinya lah yang ku peluk.
"Aku mencintaimu. Kembali lah"
Aku, Niall Horan, masih mencintai Alika.
••••••
Hai. Chapter yang ini gue dedikasikan buat malika sikedelai hitam yang saya besarkan sendiri:") Gadeng. Bercanda.
@-irishlad. Kurang baik apa gue menjadikan lo tokoh dicerita gue?:") niall ga bakalan mati, karna niall udah sama gue:3
Jangan lupa buat kasih vomments yaaaaa. See ya later👋🏼
KAMU SEDANG MEMBACA
Niall Horan
FanfictionOne-shot story about Niall Horan Copyright by exznap-z 2015