Part 1

34.1K 482 30
                                    

"Dunia yang dulu aku fikirkan begitu sempit. Dan Teori yang secara langsung aku pelajari maupun tak langsung. Menjadikan fikiranku tentang dunia menjadi luas. Bahkan, mungkin masih banyak hal yang aku tak ketahui"

**

Tak ada sesuatu yang special pada diriku. Aku hanya anak lelaki yang sebentar lagi menginjak usia tujuh belas tahun. Aku seorang anak tunggal. Tak salah jika Ibu sangat memanjakanku dan ayah selalu menginginkan yang terbaik untuku. Dari hal apapun. Meski keluarga kami bukan keluarga berada, tapi mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuaku yang sangat mencintaiku, itu lebih dari cukup. Aku yakin semua orang tua pasti memang sangat mencintai buah hatih-nya.

Bapak seorang kuli bangunan. Meski usianya hampir menginjak kepala empat. Tapi tenaganya tak bisa dianggap remeh. Lalu ibuku hanya seorang penjual lontong sayur disalah satu pasar tradisional dekat rumah.

Ibu memulai menjajarkan daganganya pada Pukul 06:00 Pagi. Sampai setelah dzuhur. Walaupun Sedari suara adzan subuh pertama ibu sudah berada di dapur untuk menyiapkan daganganya.

"Anak kuli bagunan mana bisa..!"

Kata salah satu seorang temanku ketika aku duduk di Sekolah dasar. Aku masih inget akan ucapan-nya, ketika ia punya mainan baru yang sangat canggih. Waktu itu aku bilang padanya "Nanti juga aku di beliin sama bapak"

Masa kecilku memang jauh dari mainan-mainan anak rumahan pada umumnya, aku lebih menghabiskan mainku diluar rumah. Sekedar main petak umpet, kelereng dan masih banyak lagi. Waktu itu duniaku terasa sempit. Hanya rumah, sekolah dan bermain yang mendiami otaku.

Dan kini tak terasa aku sudah duduk dikelas XI SMA. Fikiranku tentang dunia semakin luas, tentu dengan ilmu yang aku pelajari atau rasa sakit maupun bahagia dari yang pernah aku alami juga.

"Mau kemana rul?" Tanya ibu yang masih sibuk menstrika pakaian Ibu RT. Setiap minggu ibu memang libur berjualan, sebagai gantinya ia menstrika Pakaian Bu Rt yang jarak rumahnya tak jauh dari rumahku.

"Ke sekolah lah bu. Ibu gak liat Arul udah gagah gini pake seragam pramuka?" Jawabku sambil menunjukan Balok berpangkat BANTARA yang ada di pundak.

"Ia ia. Anak ibu gagah. Cuma kan ini hari minggu rul. Masa ke sekolah terus?" Ibu menaruh satu pakaian yang baru saja ia strika dengan sangat rapih.

"Ia bu, Cuma hari ini Arul ada Pelatihan calon Laksana"

"Laksana?"

"Ia bu. Kan pangkat Arul baru Bantara. Nah sebentar lagi Arul dilantik jadi Laksana" Kataku dengan bangga pada ibu. Ibu hanya mengangguk ngagguk entahlah ibu mengerti atau tidak dengan ucapanku.

"Arul.. Arul. Dari pada ke sekolah mending kamu ikut gotong royong. Masjid depan rumah kita kan mau di renovasi" Bapak memakai topinya untuk bersiap siap mengikuti kegiatan gotong royong di masjid depan rumahku.

"Tapi ini penting pak"

"Penting apanya? Setelah lulus memang pangkatmu itu dipakai di masyarakat? Pangkat pramuka untuk apa sih" Bapak ngomel lalu keluar rumah dengan raut muka yang kusut. Ibu hanya menggeleng kepala sambil menaruh telunjuknya di mulut. Menandakan aku tak boleh lagi nyahut jika Bapak ngedumel.

Bapak memang tak suka aku ikut kegiatan Pramuka. Katanya tak pentinglah. Nyiksa badan lah. Bapak tak peduli dengan pangkatku sebagai bantara di Ambalan sekolah. Bapak hanya senang jika aku ikut kejuaraan bola di tingkat kabupaten seperti waktu SMP dulu. Atau bangga jika aku menang adu panco pada acara agustusan yang digelar dilapangan sebelah masjid setiap tahun-nya.

Aku masih teringat perdebatanku dengan bapak ketika aku hendak mendaftarkan diri menjadi Anggota Bantara di Ambalan sekolah.

"Ngapain ikut kayak gitu? Kamu gak ikut eskul bola?"

SOPIR ANGKOT ITU NAMANYA JEFRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang