Yang kuharapkan bukan pria dengan iman sekuat Abu Bakar, kegagahan laksana Umar, kedermawanan seperti Utsman, atau keluasan ilmu sebagaimana Ali.
Karena aku tahu diri.
Aku bukan wanita semulia Khadijah. Tidak secantik Aisyah. Dan tidak secerdas Fatimah.
Jauh dari itu.
Aku hanya gadis biasa, dari keluarga sederhana, yang berharap Allah berbaik hati memberiku qawwam yang bisa membimbingku mengenal ajaran agamaku lebih jauh lagi.
"Loe serius pacaran sama Angga, Ray?" kalimat tanya Vina mengusik lamunanku.
"Loe denger gosip dari mana lagi, sih?" Aku menyeruput es teh manis di hadapanku. Alhamdulillah, rasa segarnya segera menghilangkan dahaga yang menggumpal di tenggorokanku.
"Yee...! Semua anak satu sekolahan juga udah denger, keleus..."
"Kecuali gue."
"Kecuali eloe, sebelum gue ngasih tau barusan, kayaknya..." Vina mengangguk membenarkan. "Jadi, bener apa nggak?"
Ah, sepertinya dia masih tidak ingin menyerah.
Kujawab desakannya dengan gelengan jujur.
Anggara Ziyan Wirahadikesuma. Tentu saja aku kenal pemilik nama itu. Dia kakak kelas yang populer di sini. Tampan, pintar, kaya. Sempurna, jika bukan karena kebiasaannya yang suka bergonta-ganti pacar sama sering dengan gonta-ganti celana dalam.
Kenal, sebatas tahu. Bukan dalam arti dekat seperti teman atau sahabat.
Dan kenapa mereka menggosipkan dia denganku?
"Eh, Ray, gue balik ke kelas duluan, ya...!" ucap Vina bergegas meninggalkanku.
"Hah?"
Aku terbengong. Ada apa dengan dia?
"Ehm!"
Aku menoleh pada seseorang yang sepertinya sengaja berdehem di belakangku dan menemukan sosok yang baru saja menjadi topik bahasan kami sudah berdiri di sana bersama seorang temannya. Sekarang aku bisa menduga kenapa Vina buru-buru melarikan diri.
"Boleh gabung?"
Pertanyaan itu bukan berasal dari Anggara, melainkan teman di sebelahnya. Kalau tidak salah... namanya Rio.
Ingin menolak, tetapi tidak enak hati, akhirnya aku mengangguk sebagai tanda persetujuan. Anggara langsung mengambil tempat duduk tepat di seberangku, sedangkan Rio memilih berada di sisi kanannya.
"Nggak makan?"
Itu pertanyaan retoris. Jelas sekali aku hanya memiliki segelas es teh manis di depanku. Tapi sebagai sopan santun, tetap kugelengkan kepalaku atas pertanyaan itu.
Diam-diam, aku sedikit menyesali kecerobohanku pagi tadi. Karena insiden kecil, bekal yang biasanya sengaja kubawa dari rumah untuk makan siang di taman sekolah jadi tumpah. Aku jadi harus menahan lapar dan berusaha tetap bersyukur walaupun hanya mampu membeli es teh manis, alih-alih makanan yang mengenyangkan, di sini. Maklum, sekolah elit. Apa-apa serba mahal. Harga segelas es teh manis saja sudah lima ribu. Kalau saja botol minumku juga tidak ikut-ikutan pecah dan dahagaku masih bisa ditawar, aku pasti lebih memilih menyimpan uangnya untuk ditabung saja.
Sepiring gado-gado terulur padaku. Keningku mengernyit pada pelakunya. Apa maksud Anggara memberiku makanannya?
Seperti bisa membaca tanya yang tersirat dari ekspresiku, dia berkata, "makan dulu. Abis itu baru kita ngomong."
"Nggak usah, Kak. Aku udah kenyang, kok!"
"Jangan bohong. Aku tau bekal makan dan minum kamu hancur gara-gara pengendara motor yang kebut-kebutan pagi tadi." Hah? Kok bisa? "Makan. Sekarang. Aku nggak ngasih racun di makanan itu, kalo kamu pengen tau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Moment (Kumpulan One Shoot)
Romansa"Mungkin sekarang terlalu cepat untuk membuka hati bagi cinta yang baru, tapi kalau membuka lagi kotak cinta lama yang pernah kusimpan rapi di pojok hati, nggak masalah, 'kan? Karena mungkin saja... akan muncul pelangi setelah hujan." _Aku_ "Aku ti...