Perjalanan Menuju Gunung

1.5K 61 10
                                    

Sekian lama waktu berlalu. Raja Prabu dan Ratu Dewi belum dikaruniai seorang anak. Walau kehidupan mereka bahagia, namun semua terasa hampa. Para rakyat, serta seisi istana mulai membicarakan hal ini. Disaat raja dan ratu sedang lewat, pasti saja tampak mereka sedang berbisik-bisik, lalu berhenti dan memasang wajah tak enak. Rasa gundah mulai menyelimuti hati mereka. Siapa yang akan menggantikan dan mewarisi kerajaan mereka kelak?

Mereka berdua selalu berdo'a pada Tuhan agar mereka dikaruniai seorang anak. Siang dan malam. Waktu berlalu dan begitu yang mereka lakukan seterusnya. Namun, dalam waktu yang lama juga mereka belum dikaruniai seorang anak.

"Yang Mulia," panggil istrinya, Ratu Prabu, saat mereka sedang duduk berdua di dalam kamar mereka yang megah, "diriku sudah semakin berumur, begitu juga dengan dirimu. Jika kita tidak memiliki anak, tentu siapa yang akan melanjutkan pemerintahan pada kerajaan kita?" Ratu memasang wajah sedihnya.

"Tenang, istriku. Aku akan carikan cara bagaimana kita akan dikaruniai seorang anak." Sang suami mengelus punggung istrinya dengan lembut. Ratu Dewi hanya menoleh sedikit, menunjukkan senyum harunya.

"Cara apa lagi yang akan kita dapatkan, suamiku? Kita sudah berdo'a setiap hari. Siang ... bahkan malamnya. Tapi, tidak ada tanda-tanda aku sedang mengandung." Ratu Dewi menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Kini, sang raja mengelus rambutnya dengan lembut.

Beberapa saat kemudian, terpintas sesuatu di benak Raja Prabu. "Bagaimana jika aku bersemedi saja?" ujarnya dengan nada bertanya. "Istriku, apakah kau ingat kejadian beberapa waktu yang lalu?"

Bola mata sang ratu melebar dan raut wajahnya berubah.

"Perkataan tabib tua itu ..." ia bergumam pelan. "Aku akan pergi ke gunung. Aku akan bersemedi di sana dan memohon pada Tuhan," ucap sang raja dengan mantap. Ia menoleh ke arah istrinya, menunggu persetujuan darinya.

"Baiklah ... jika itu yang ingin kau lakukan, aku akan mendukung," balas sang ratu.

Raja Prabu pun mulai bersiap-siap untuk mengemas peralatan yang ia butuhkan untuk mendaki gunung nanti. Ia memanggil pengawal-pengawalnya untuk melayani apa yang ia butuhkan. Cukup lama, hingga akhirnya Raja Prabu sudah berada di depan gerbang utama dengan kuda tunggangannya. Para pengawal berdiri di sisi kanan dan kirinya untuk mengucapkan salam perpisahan.

"Do'akan aku berhasil," ujar sang raja sambil memandang wajah para pengawalnya.

"Baik!" para pengawalnya berseru serempak. Raja Prabu pun mulai berangkat diiringi ucapan selamat saat perjalanan dari para pengawal. Ia menunggangi kudanya dengan cepat.

Perjalanan yang ia tuju ini lumayan jauh, karena ia harus melewati jembatan yang menghubungi wilayah kekuasaannya dengan daerah perbatasan, lalu memutar menuju desa di kaki gunung. Dari situlah ia akan menitipkan kudanya pada para penduduk dan mulai mendaki gunung. Namun, belum saja perjalanan terlewati satu jam ia melihat seorang kakek tua dengan jubah yang kumuh sedang duduk bersandar pohon. Ia pun langsung memberhentikan kudanya dan turun. Ia menghampiri kakek tua itu. Wajahnya kusut dan ia sangat bau.

"Wahai Kakek, apa yang kau lakukan di sini?" tanya sang raja, "kenapa pakaianmu sangat kotor?"

"Aku ... tidak punya apa-apa, Tuan ... aku ... tidak ada sesiapa yang mengurusku," jawab kakek itu dengan suara lirih. Oh, bahkan ia tak tahu kalau yang di hadapannya ini adalah seorang raja. Namun, untungnya Raja Prabu ialah raja yang baik hati. Suara perut yang tampak belum diisi makanan pun terdengar di telinga sang raja.

"Tenang. Aku akan menolongmu." Sang Raja bangkit dan mengambil sesuatu dari tas yang talinya terkalung pada kuda yang ditungganginya. Ia memberikan sepotong roti besar pada kakek itu.

"Ini, Kek. Makan dulu."

Sang kakek menerima roti tersebut dan memakannya. Sang raja hanya memandang kakek tersebut sambil memperhatikannya. Kakek itu memakan rotinya dengan lahap. Tak lama, ia bertanya, "Siapa namamu, wahai Kakek?"

"Namaku Kandi," jawab sang kakek setelah menelan roti yang ia makan, lalu kembali memakan sisa roti di tangannya hingga habis.

"Aku senang kau makan selahap itu, Kek." Sang raja tersenyum.

"Ah, terima kasih, Tuan. Anda sangat baik sekali." Sang kakek ikut tersenyum senang. Tiba-tiba, sang raja bangkit, membuat kakek itu melebarkan bola matanya.

"Sehabis ini aku akan melewati sungai di daerah perbatasan. Bagaimana kalau kau ikut denganku, Kek?" tawar sang raja. Kakek itu pun memasang wajah bingung padanya. "Aku membawa beberapa pakaian ganti. Mungkin kau bisa mandi di sungai itu dan memakai pakaianku," terangnya.

Namun, kakek itu menjawab, "Itu tidak perlu. Anda sudah memberiku sepotong roti saja pun sudah cukup. Anda tak perlu berbuat lebih."

"Tidak, Kek. Lihatlah dirimu. Jubahmu kotor sekali." Raja membantu kakek itu untuk berdiri. "Aku akan mengantarmu ke sungai."

Ia pun menuntun kakek itu untuk naik ke kudanya, lalu mereka pun mulai melaju lagi. Dalam waktu yang cukup lama, mereka sampai di sebuah sungai. Tepatnya daerah perbatasan wilayah. Raja pun turun dari kudanya. Namun, saat ia hendak membantu sang kakek untuk turun, kakek itu sudah tidak ada. Ia pun bertanya-tanya ke mana perginya kakek itu.

"Mungkin dia sudah turun duluan, ya ...?" gumamnya bingung. Ia pun memeriksa pinggir sungai, namun tidak ditemukan siapa-siapa di sana. Ia pun jadi semakin bertambah bingung.

"Apa mungkin aku meninggalkannya?" tanyanya lagi. "Tidak. Aku membantunya untuk naik ke tunggangan kudaku tadi ... apa mungkin ia terjatuh di tengah jalan? ... Tidak mungkin. Kalau ia jatuh pasti suaranya terdengar."

Raja pun berpikir dalam waktu yang lama. Namun, karena teringat tujuan utamanya melakukan perjalanan ini, ia pun kembali menunggangi kudanya dan berjalan melewati jembatan. Meninggalkan sang kakek yang ternyata merupakan jelmaan malaikat yang akan menjaganya selama perjalanan.

Vote and comment readers :)

Telaga WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang