CHANCE 1

2.8K 288 84
                                    

sorry typos

.

Aku sadar dengan posisiku. Edward tak menyukaiku aku pun tau. Aku sadar ini tak seharusnya ku lakukan. Perjodohan ini memanglah tak seharusnya aku setujui. Kalau tidak karena untuk menolong orang tuaku waktu itu aku pun tak akan seperti ini.

Akhirnya setahun yang lalu aku resmi menikah dengan Edward. Dan yang membuatku sedih sehari sebelum aku menikah kedua orang tuaku meninggal. Kereta api yang mereka tumpangi tertabrak oleh kereta api yang lainnya.

Kesedihanku berlangsung sampai sekarang. Aku sudah dengar dari Mama mertuaku, Mama Liana, bahwa Edward adalah pria yang dingin dan sulit untuk jatuh cinta. Dan jujur aku sampai sekarang belum bisa membuat Edward jatuh cinta padaku. Justru diriku ini sudah mencintai dia sangat-sangat dalam.

"Fiona..."

Kudengar ada seseorang yang memanggil namaku. Aku sudah berada di dalam kamar selama setengah hari lebih.

Kuseka air mataku dan mengintip dari celah pintu siapa yang datang menemuiku. Ternyata ada Mama Liana yang datang dengan berbalut gaunnya yang cantik.

"Mama..." Ucapku dan segera memeluknya. "Maafkan Mama, Fiona." Ucapnya mengelus-elus punggunggku yang bergetar hebat akibat menangis di dekapan hangatnya.Aku melepaskannya dan mengajaknya masuk ke kamarku. Tanpa kusadari dirinya juga menangis.

"Dimana Papa ? Mengapa Mama sendirian ? Pestanya bukannya belum selesai ?" tanyaku berusaha tegar.

Ya, hari ini Edward mengadakan resepsi dengan Alice. Mereka menggelar pesta yang begitu mewah di rumah. Dan aku hanya bisa diam di kamar dan menangis. Ya, aku tidak mungkin ikut disana.

Seorang upik abu tidak mungkin menghadiri pesta megah seperti itu.

"Papa sedang melayani tamu. Mama izin sebentar untuk menemuimu. Mama khawatir denganmu."

"Mama tidak usah khawatir, aku baik-baik saja." Balasku dengan senyum simpul.

Hingga air mataku tak bisa kutahan lagi. Aku pun kembali menangis di depannya. Kembali aku merasakan dekapan hangatnya memeluk diriku.

"Mama benar-benar tidak tahu jika dia sudah menikahi Alice. Mereka menikah diam-diam di Amerika. Mama dan Papa bingung harus berbuat apa lagi, terutama dirimu. Kami sangat tahu kau benar-benar terluka dan ini semua salah kami," Ucap Mama Liana menghapus air mataku.

"Mama tak bisa melarangnya. Mama melihat dia begitu bahagianya membawa Alice kepada kami. Kami tak pernah melihat dia dengan senyum yang mengembang, dan dengan tawa yang lepas. Selama ini dia terkesan dingin bahkan pelit dalam berbicara... tetapi dengan adanya Alice dia benar-benar berubah. Dia menjadi Edward yang periang."

Aku merasakan sakit yang luar biasa sakitnya di dalam hatiku. Aku sudah melihat Alice bagaimana. Mama mengatakan padaku sebelumnya dia seusia denganku. Dia wanita yang baik, sopan dan begitu lugunya.

"Ya dia jauh lebih baik dari pada aku. Aku hanyalah anak dari keluarga sederhana dengan pendidikan yang hanya sampai setingkat sekolah menengah keatas. Sedangkan Alice berintelektual tinggi. Lulusan sarjana dari Harvard University." Jawabku dengan senyuman yang begitu berat.

"Fiona... kami benar-benar minta maaf. Ini semua salah kami. Kau begitu baik seharusnya kami tak menikahkan dirimu dengan putra kami."

Tidak ada yang salah. Ini sudah takdir dan aku hanya bisa menjalaninya saja.

.

Tengah malam aku terbangun. Sudah berulang kali berbalik kesana dan kemari namun aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Pestanya sudah berakhir. Aku tidur sendirian tanpa ada Edward di sampingku.

Aku bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menuju dapur. Berharap segelas air mineral bisa melegakan dahagaku.

Setelah menuangnya ke gelas aku membawanya ke kamarku. Kamarku tak begitu jauh dari kamar "kami" dulu.

"Edward, kau membuatku malu, Kau membelikan pakaian kurang bahan ini." Sayup-sayup kudengar suara Alice, istri Edward.

"Kau begitu cantik, Alice. Apa yang membuatmu malu ? Aku suamimu. Dan bukannya kita sudah melakukannya, Alice."

"Aku tidak mengerti caranya. Kau tau-err-kita baru mencoba sekali. Aku masih malu."

"Nanti kau juga akan tau, sayang. Kemarilah jangan malu pada suamimu ini."

Aku menangis kembali aku berlari membawa gelas masuk ke kamarku. Kuletakkan gelas itu di atas meja kecil dan bersandar di pintu dengan air mata yang kian membanjiri.

Bahkan perlakuannya sangat berbeda denganku saat kami menikah dulu. Tanpa ada perkataan dia langsung saja menyerbuku dengan emosi yang meluap-luap. Memperlakukanku seperti boneka. Aku hanya bisa menangis sewaktu dia menghujamiku dengan paksa dan kasarnya.

"Ini menyiksaku, Edward. Tidak kah kau sadari itu ?" lirihku memeluk kuat-kuat kedua kakiku.

Oh Ayah, Ibu. Seandainya kalian ada disini. Aku ingin menceritakan semuanya. Aku tidak kuat.

Aku berlari menuju ranjangku. Menangis sejadi-jadinya disana. Aku salah, seharusnya aku tak jatuh cinta padanya. Jika aku tak jatuh cinta padanya pasti tidak akan timbul rasa sakit seperti ini.

Aku kira seiring berjalannya waktu perjodohan tanpa cinta akan memuai cinta pada akhirnya. Aku benar-benar salah. Aku membuka ponselku dan mencari nama Amanda disana. Aku akan kembali bekerja esok hari. Aku tidak kuat jika harus berhadapan dengan mereka sepanjang hari.

To: Amanda

Aku kembali kerja besok hari.

Begitu menekan tombol send. Aku luruh kelantai dan pandanganku berangsur gelap. Aku ingin ini semua hanyalah mimpi.

.

tbc.

thanks 4 the vomments :)


CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang