CHANCE 3

1.7K 217 65
                                    

Sorry for the typos

.

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap akan pergi bekerja. Biarkan saja Edward memarahiku lagi, meniduriku sesukanya, yang jelas aku tidak mau diam di rumah. Seperti biasa sebelum bekerja aku selalu membuatkan Edward sarapan. Hanya Edward.

Aku selalu menyediakan dia sarapan meskipun jarang sekali dia memakannya. Apalagi setelah dia "menikah" kembali, sarapan yang kubuat tidak pernah dimakannya.

Kulangkahkan kakiku menuju dapur. Kudengar suara berisik dari dapur. Begitu aku ke dapur aku mendapati "istri" Edward yang sedang memasak. Alice.

"Aku yang akan memasak sarapan untuk Edward..." ucapnya seperti cicitan pelan. Sepertinya dia takut denganku.

Aku juga mengerti. Makanya aku juga mengurungkan niat untuk memasakkan sarapan untuk Edward.

"Aku hanya memasak sarapanku." Balasku singkat.

Setelahnya kami berdua masak dengan canggung dan hening yang menyelimuti kami. Hanya suara alat masak yang kami gunakan yang terdengar.

Kulihat dari sudut mataku dia seperti curi-curi melihat aku yang sedang memasak. Aku tidak mempermasalahkan itu. Anggap saja aku tidak melihat.

"Aku tahu semalam Edward ke kamarmu." Ucapnya menghentikanku memotong paprika.

Kudengar dia pun melakukan hal yang sama. Kami sama-sama berbalik. Kini kami sedang berhadapan. Dia berdiri membelakangi kompor sedangkan aku membelakangi microwave. Seakan-akan kami memiliki senjata masing-masing.

"Ya, apakah salah jika dia menemuiku?" tanyaku.

"Tidak!" jawabnya cepat.

"Lalu?"

Dia diam sebentar. Jantungku berdetak kencang. Bagaimana argumen ini nantinya akan berakhir? Kami nantinya akan bertengkar atau bagaimana? Kuharap tidak.

"Aku ingin kita berteman. Bagaimana pun juga, kau istri Edward, orang yang Edward cintai dan kita satu rumah." Ucapnya dengan tulus.

Aku meringis ketika dia mengatakan bahwa aku orang yang Edward cintai. Mustahil.

"Edward mencintaimu. Bukan aku." Ucapku dengan bibir yang bergetar.

Aku meremas kedua tanganku dengan kencang. Sekencang mungkin agar aku tidak menangis.

"Fiona, dia mencintaimu juga. Aku tidak sedang mencoba mengambilnya darimu. Dia milik kita." Kudengar suaranya tak kalah bergetarnya dariku.

Aku mendongak dan menatap Alice dengan mata yang pasti memerah.

"Bullshit, Alice. Seumur hidupku aku tidak mendengar kata cintanya. Jika dia mencintaiku tidak mungkin dia ingin menceraikanku!" Kataku dengan emosi yang memuncak.

Tumpah sudah air mataku. Aku membalikkan badannku dan membawa roti isi yang kubuat. Kuambil tasku dan dengan air mata yang terus berlinang aku meninggalkan rumah ini.

Rumah yang telah mengantarkanku menuju rasanya mencintai sosok Edward. Kudengar Alice mengejarku. Memanggil namaku berulang kali. Maafkan aku Alice, aku tidak bisa berbagi. Katakan saja aku egois. Inilah aku.

"Fiona!" Pekik Alice yang masih mengejarku.

Aku semakin tak bisa menahan tangis. Aku segera memanggil taxi dan menangis menumpahkan rasa sakit yang kutahan sejak lama.

Masih sempat kulihat Edward yang sudah bangun segera memeluk Alice dari belakang. Menahan istrinya untuk tidak mengejarku. Kulihat Alice juga menangis.

Ini menyakitkan.

.

Sesampainya aku di tempat aku bekerja. Yaitu, di toko roti peninggalan orang tuaku, aku segera memeluk Amanda menangis sejadi-jadinya dipelukannya. Dia membawaku ke dalam toko untuk menenangkanku.

"Fiona, jelaskan padaku apa yang terjadi?" tanya Amanda.

Aku menangis lagi mengingat-ingat perkataan Edward tadi malam.

"Edward... menceraikanku..."

Kembali aku menangis. Beberapa kali dia mengumpat nama Edward. Karena sedari dulu dia merasa ada yang aneh di antara pernikahanku dan Edward.

Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak membuka toko hari ini. Aku diboyong Amanda menuju apartemennya yang tidak jauh dari toko rotiku. Dia membuatku teh hangat untuk menenangkan pikiranku.

Aku duduk di balkonnya. Memandang kosong pemandangan yang ada. Lagi-lagi aku melamunkan Edward datang padaku dan meminta maaf.

Dipikiranku hanya ada dia. Aku sudah coba tepis tapi hasilnya tetap nol. Lagi-lagi dia juga yang aku pikirkan.

Baby, let me love you goodbye...

Ponselku berbunyi. Nama Mama mertuaku terdapat disana. Awalnya aku biarkan, lama-lama aku mengangkatnya.

"Fiona, kamu dimana sayang? Edward mengatakan pada Mama kamu kabur dari rumah?" tanya Mama.

Kabur? Aku kabur?

"Kamu baik-baik saja kan? Pulanglah Fiona."

"Aku akan pulang besok, Ma. Aku ingin menenangkan diriku terdahulu."

"Kamu berjanji akan pulang ya... Fiona Mama takut kamu diperlakukan jahat diluar sana..." Sepertinya Mama Liana menangis.

"Iya, Ma..."

Setelahnya aku mematikan ponselku. Kembali menangis. Menangisi Edward yang jelas-jelas sudah menyakitiku.

.

Hai! Happy New Year!!!! Besok sudah 2016, 2017 masih lamaaa. Oh ya, buat yang nanya pemeran Alice siapa, pemerannya gigi hadid ya! Byeee



CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang