8 - Rencana Busuk (2)

459 10 0
                                    

Siti menatap nanar ke arah jendela kamarnya. Beberapa hari yang lalu, ia telah dilamar oleh Datuk Maringgih. Pikirannya berkecamuk, antara ingin tetap bersama Samsul Bahri atau memilih memaksakan dirinya untuk menikah dengan Datuk Maringgih.

"Apa aku kabur saja, ya?" tanyanya pada dirinya sendiri, "Tapi, bagaimana dengan Ayah dan Mandeh?" Terjadi pergolakan batin Siti. Tapi, jika ia memilih memaksakan perasaannya, ia tidak akan pernah bahagia lagi seumur hidupnya. Siti tidak bisa membayangkan hidup tanpa Samsul Bahri. Lebih baik aku pergi ke pulau Jawa untuk menjemput Uda Samsul, batinnya.

Malam harinya, semua perlengkapan yang akan dibawa Siti sudah siap di dalam tasnya. Ia tidak memberi tahu ayah dan ibunya perihal niatnya ini. Siti membulatkan tekadnya. Ia melangkah mendekati jendela kamarnya. Dengan pelan, dibukanya jendela kamarnya lalu Siti melempar tasnya keluar jendela. Siti segera melompat dari jendela kamarnya lalu membawa tasnya dengan langkah pelan menjauhi rumahnya. Perempuan itu berbalik sejenak, menatap dalam ke arah rumah masa kecilnya. Selamat tinggal, Ayah, Mandeh. Siti janji akan kembali lagi bersama Uda Samsul, batinnya. Siti kembali berbalik. Dengan langkah gemetar, ia segera menjauhi rumahnya dan tidak melihat ke belakang lagi.

***

"Datuk! Datuk!" Edi dan Udin menggedor pintu rumah Datuk Maringgih sambil berteriak. Pintu rumah terbuka menampilkan seorang pria tua dengan raut wajah marah. "Apo lai?!"bentak Datuk Maringgih.

"Gawat, Tuk! Gawat sekali!" ucap Edi dengan nafas yang tidak teratur, sementara Udin hanya mengangguk sambil mengatur nafasnya. "Baik-baiklah berbicara. Ambil nafas dulu." Edi dan Udin mengambil nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan.

"Siti Nurbaya kabur, Tuk!" kata Edi dan Udin bersamaan setelah nafas mereka sudah berangsur normal. Datuk Maringgih terbelalak mendengar berita Edi dan Udin. "Apa?! Kabur?! Bagaimana bisa?!" bentak Datuk Maringgih membuat kedua anak buahnya itu meringis.

"Antalah, Tuk. Cepat sekali hilangnya," ucap Udin yang disambut anggukan dari Edi. "Iya, Tuk. Bagaimana caranya lagi, Tuk?" timpal Edi.

"Pokoknya saya tidak mau tahu! Cari sekarang sampai dapat! Kalau tidak dapat, kalian berdua saya bunuh!" Edi dan Udin meneguk ludah mereka dengan susah payah saat mendengar bentakan Datuk Maringgih. "B-baik, Tuk." Edi dan Udin segera berlari menjauh dari pekarangan rumah megah tersebut meninggalkan Datuk Maringgih yang tersenyum kejam. Kurang ajar gadis itu, sudah berani ya dia. Lihat saja nanti, batinnya kejam.

***

"Din, kemana lagi, nih, kita harus mencari Siti?" tanya Edi. Udin hanya mengangkat kedua bahunya dan terus berjalan, hingga akhirnya mereka tiba di pelabuhan. Mata Udin menangkap bayangan seorang gadis cantik yang terlihat sangat familiar. Mirip.. Siti?

"Eh, Din, itu Siti bukan?" Edi dan Udin pun segera mendekat, tapi langkah mereka terhenti karena mendengar perkataan Siti dengan dirinya sendiri.

"Uda Samsul, Siti sekarang dijodohkan dengan pria tua bernama Datuk Maringgih. Kami dijodohkan untuk melunaskan hutang keluarga. Siti tidak tahu harus melakukan apa lagi Uda, Siti tidak mau dijodohkan. Siti ingin bertemu Uda," gumam Siti sambil menangis tersedu-sedu. Sungguh malang nasibnya. Edi dan Udin yang mendengar hal itu tidak jadi menemui Siti, tetapi mereka kembali ke rumah Datuk Maringgih untuk melaporkan keberadaan Siti.

***

"Datuk, buka pintunya! Kami menemukan Siti, Tuk!" panggil Edi di depan pintu rumah Datuk Maringgih. Dengan sigap Datuk Maringgih membukakan pintu. "Dimana kalian menemukannya?" tanya Datuk Maringgih dalam keadaan sangat marah.

"Di pelabuhan, Tuk. Kami juga mendengar kalau dia ingin menyusul Samsul Bahri ke Jawa." Rahang Datuk Maringgih mengeras mendengar perkataan Edi. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menunjukkan betapa marahnya ia saat ini. Edi dan Udin sedikit melangkah mundur, takut kena amukan Datuk Maringgih.

"Cari masalah saja dia! Pusing saya gara-gara dia! Bunuh saja si Siti Nurbaya itu! Apapun caranya!" Edi dan Udin saling pandang, lalu kembali menatap Datuk Maringgih. Keduanya mengangguk bersamaan. "Siap, Tuk!"

***

"Ha?! Membunuh?!" Edi dan Udin mengangguk serentak. "Iya, Uni. Bagaimana caranya, Uni?" tanya Udin kepada Azizah, wanita di depan mereka yang merupakan istri Datuk Maringgih. Kening Azizah berkerut dalam, ia sedang memikirkan cara terbaik untuk membunuh Siti Nurbaya. Raut wajahnya tiba-tiba menjadi cerah.

"Uni tahu! Uni dengar-dengar, si Siti Nurbaya itu suka sekali dengan lamang. Nah, kita beri saja lamang itu racun, lalu kita jual kepada dia. Tapi, siapa yang akan menjualnya? Biar Uni saja," kata Azizah. "Eh, jangan Uni! Nanti bisa-bisa Datuk Maringgih marah," ucap Edi dengan tangan kanannya dikibas-kibaskan di udara.

"Iya, Uni. Biar saya saja yang menjualnya. Bagaimana, Uni?" Azizah mengangguk-angguk pelan. "Okelah. Tapi kau harus menyamar! Jika tidak bisa ketahuan." Udin mengangguk mendengar ucapan Azizah. Azizah tersenyum sinis dalam hati, akhirnya ia tidak akan mempunyai saingan lagi dan akan tetap menjadi istri satu-satunya Datuk Maringgih.

Tbc

*****

Arti Kata

- Apo lai : apa lagi

- Antalah : tidak tahu

- Uni : kakak (perempuan)

- Lamang : makanan asal Minangkabau


Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang