Anggi langsung menarik tanganku begitu aku tiba di kantor pagi itu.
"Heh! Ke mana aja sih lo semalam? Lo nginep di mana? Lo pergi sama Roby?" cecarnya.
Aku tersentak. Bagaimana Anggi bisa menduga seperti itu?
"Gila ya lo bohongin nyokap lo kayak gitu!"
Apa? Jangan-jangan Anggi tau... Ya Tuhan.. Ibu?
"Kenapa bengong? Nggak bisa jawab?"
"Ibu tau, Nggi?" tanyaku panik.
"Nyokap lo nggak tau. Laila kemarin ke rumah lo. Nyokap lo bilang lo nginep tempat gue. Laila nyamperin gue. Kami berdua kebingungan karena lo nggak biasanya kayak gini, Vir.. Mana HP lo nggak aktif lagi.."
Aku menarik napas lega. Untunglah ibuku tak tau.
"Jadi kalian sebenarnya ke mana? Lo sama Roby kan?"
Aku mengangguk. Belum sempat kujelaskan apa-apa, Laila terengah-engah menghampiri kami.
"Kenapa lo?" tanya Anggi bingung.
Laila menatapku. "Beneran semalam lo sama Pak Roby check in?"
"Apa?? Check in??" Anggi melonjak kaget.
Kedua pasang mata mereka menatapku tajam. Aku tak bisa mengelak.
"Lo tau, semua karyawan lagi ngomongin lo, Vir.. Ada anak HRD, gue nggak tau siapa... dia lihat lo sama Pak Roby di hotel semalam. Lo masih mau nyangkal??" serang Laila.
Aku dan Anggi sama-sama terkejut.
"Jadi kalian beneran check in?" Anggi mengguncang bahuku.
Aku mengangguk pasrah. Tak tau harus bagaimana menghadapinya. Sekarang semua orang tau. Hal ini pasti akan jadi skandal besar dan bisa saja nasibku di perusahaan ini dipertaruhkan.
"Vira..."
"Ini bukan seperti yang mereka pikirkan, Nggi. Gue nggak ngapa-ngapain sama Roby. Kami cuma ngobrol-ngobrol aja.. Beneran La, gue nggak bohong.." kataku meyakinkan mereka.
"Kalian semalaman tinggal sekamar dan cuma ngobrol-ngobrol aja? Lo yakin?" tanya Laila menyelidik.
"Maksud lo apa, La? Lo mojokin gue?!" seruku tak senang.
"Vir, gue tau lo banget. Kita bersahabat sejak SMA. Kalau lo nyolot begini, berarti ada sesuatu kan?" Anggi mencoba mengorekku.
Aku menghempaskan tubuh di dinding.
"Vira..?" tanya Anggi.
"Ok! Gue ciuman sama Roby.. Tapi cuma itu aja, kami nggak ngapa-ngapain.. Swear!"
Anggi dan Laila terbelalak.
"Lo bilang kalian nggak pacaran, Vir?" tanya Laila.
"Ya, emang nggak.."
"Kok ciuman?"
"Itu...itu...." aku kebingungan sendiri. Bagaimana menjawabnya? Apa harus kuakui aku hilang kendali atas pesona Roby?
"Jangan bilang lo beneran jatuh cinta sama dia?" selidik Anggi.
"Nggak... Bukan... Gue cuma...cuma kelepasan.. Terbawa suasana.." jawabku gugup.
"Ok. Anggaplah kami berdua bisa percaya sama lo. Tapi yang lain? Gosip tentang lo udah terlanjur nyebar, Vir.. Dan reputasi lo bisa terancam karena... karena gue nggak yakin mereka ngomongin hal baik tentang lo.." ujar Laila khawatir.
"Semua gara-gara cowok nyebelin itu! Huh! Hidup gue berantakan!" seruku kesal.
Anggi hanya menepuk-nepuk bahuku mencoba menenangkan.
Sementara itu, seperti yang pernah Laila kemukakan, gosip itu benar-benar menyebar dengan cepat. Bahkan berkembang menjadi simpang siur. Vira diam-diam mendekati bos barunya, sang eksekutif muda, demi mendapatkan promosi. Vira, si karyawan biasa bermimpi jadi cinderella. Vira yang jaim ternyata mengincar eksekutif muda. Semua serba Vira yang menjadi sorotan utama. Aku sadar kini semua memandang negatif terhadapku.
Aku tak yakin Roby tak mendengar apapun tentang hal ini, tapi tak sekalipun dia membahasnya denganku. Aku tetap sulit menghindar dari Roby, apalagi ketika dia sudah menggunakan alasan adik-adik asuhnya di rumah singgah. Mau tak mau aku akhirnya menuruti Roby karena aku pun menyayangi mereka.**
"Please, Rob.. jangan deketin gue terus! Gue udah nggak tahan denger omongan miring tentang gue di kantor.." ucapku memohon kesekian kalinya pada Roby ketika dia mengajakku pulang bareng sore itu.
"Cuek ajalah, Vir.. Mereka kan nggak tau yang sebenarnya terjadi.."
"Mana bisa, Rob? Mereka menilai gue negatif untuk hal yang nggak gue lakuin.. Lo bisa cuek karena lo bos. Mereka nggak akan berani ngomongin lo macam-macam. Tapi gue?" kataku kalut.
"Nggak bisa berhenti begitu aja, Vir.. Gue sayang sama lo.. Lo juga kan?" Roby menghujam kedalaman mataku.
"Jangan sembarangan! Gue suka sama lo karena lo sahabat gue, Rob.. Cuma itu! Nggak lebih!" tegasku.
"Nggak lebih? Oya? Tapi gue merasakan lain... Gue yakin lo punya perasaan yang sama kayak gue, Vir.."
"Lo salah, Rob.."
"Lo takut mengakuinya kan? Lo takut mengakui kalau lo menikmati ciuman kita malam itu.."
Aku tersentak. "Ciuman itu kesalahan, Rob!" seruku menahan suaraku agar tak terdengar orang lain.
Roby tertawa kecil.
"Kesalahan? Tapi gue jelas bisa merasakan bagaimana lo membalas setiap hisapan gue..."
Plaakk!!!
Roby memegang wajahnya yang terkena tamparanku. Matanya tajam menatapku.
"Mau marah, Vir? Silakan! Lo cuma takut mengakui perasaan lo sendiri!"
"Itu nggak benar!" jeritku setengah marah.
Roby tak menanggapi. Aku menoleh sekeliling. Baru kusadari beberapa pasang mata memperhatikan kami. Tanpa berkata apapun, aku segera berbalik meninggalkan Roby. Tiba-tiba kurasakan lenganku dicekal. Aku terhenti. Ternyata Roby mengejarku.
"Mau apa lagi sih lo? Lepasin!" seruku.
"Lo nggak bisa lari dari gue, Vir."
"Aahh..."
Roby menjerit saat kuinjak sebelah kakinya. Begitu tangannya terlepas dari lenganku, aku segera berlari menjauh. Tak kuhiraukan teriakan Roby. Aku langsung melaju bersama taksi yang membawaku. Di dalam taksi kurutuki diriku sendiri. Bodoh! Kenapa semua jadi begini?
**
Aku melangkah sepanjang koridor kantor dengan lesu. Omongan miring tentang diriku semakin merajalela. Ditambah dengan insiden di tempat parkir sore itu. Bekerja pun rasanya tak nyaman karena setiap saat mata demi mata seakan mengawasiku bergantian. Rasanya aku sudah mencapai suatu titik kesanggupanku. Anggi dan Laila selalu setia mendukungku, namun mereka juga tak bisa berbuat banyak untuk menepis semua gosip miring tentangku.
"Lo yakin, Vir? Jangan korbanin karir lo kayak gini.." bujuk Anggi.
"Mau gimana, Nggi? Gue nggak bisa terus-terusan begini.. Gue nggak sanggup.." ujarku lemas.
"Pak Roby pasti nggak akan tinggal diam kalau tau lo bakal resign..." sambung Laila.
"Jangan sampai dia tau, La. Kalau dia tanya, lo jawab aja nggak tau apa-apa. Gue mau kasih suratnya ke Bu Miranti dulu." aku langsung bangkit meninggalkan kedua sahabatku.
Meninggalkan perusahaan di saat karirku mulai berkembang, meninggalkan kedua sahabat yang merupakan rekan kerjaku, memang merupakan hal yang sulit. Tapi sebaiknya itu yang harus kulakukan. Kalau aku tetap bertahan di situ aku yakin bukan hanya posisiku yang tak nyaman, tapi Roby pun akan kena imbasnya. Dia pimpinan baru yang butuh kepercayaan dari karyawannya. Kalau baru sebentar saja sudah ada gosip tentangnya, bagaimana dia bisa mendapat kepercayaan penuh untuk memimpin perusahaan? Aku sudah memikirkan ini baik-baik, lebih baik aku saja yang pergi.
**
![](https://img.wattpad.com/cover/52350609-288-k265479.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SINGLE, GOSSIP, AND LOVE
RomanceAku Vira. 25 tahun. Masih bertitel jomblo sampai saat ini. Dan sekarang aku jadi bahan gosip seantero kantor. Mampukah aku bertahan? Sekuel dari Jomblo Forever