Percintaanku tidak pernah berjalan dengan mulus. Entah itu di SMA, kuliah bahkan ketika di kantor sekalipun. Beberapa cinta telah kurasakan walaupun tidak banyak tapi seharusnya aku bisa belajar dari pengalaman percintaanku, tapi kenyataannya tidak, setiap percintaanku selalu kandas di tengah jalan. Zhidan, mantan kekasihku yang memutuskan hubungan kami 2 bulan yang lalu. Ia adalah pemilik cafe tempatku dulu bekerja. Kami sudah bersama selama 1 tahun, bahkan kami sudah memutuskan untuk bertunangan. Tapi hubungan kami berakhir begitu saja, dan alasan dia memutuskanku bagaikan alasan anak SMA yang putus dalam berpacaran. Ia bilang aku egoislah, kekanakan, dan berbagai alasan tak logis lainnya. Padahal aku sudah meluangkan waktuku untuk mengunjungi keluarganya, membantu ibunya menyirami tanaman, bahkan aku membantu ayahnya mencuci mobil hampir sebulan sekali ! Kurang perhatian apa aku !? Dia lah yang egois ! Padahal selama ini aku selalu memaklumi kesibukannya dalam mengurusi cabang-cabang cafenya. Entah mengapa rasa cinta selama kami bersama sekarang tergantikan menjadi rasa kesal. Aku sungguh kesal sampai mati padanya. Ingin rasanya berteriak dan membalikkan semua tuduhan yang ia layangkan padaku. Tidak. Tidak boleh. Aku harus bersabar, aku ingin ia menyesal dan merangkak memohon padaku untuk kembali padanya. Ha.ha.ha.
Oke.
Kembali ke masalah percintaanku. Ketika kuliah, aku hanyalah seorang mahasiswi biasa, tidak mencolok dan tidak banyak mendapatkan perhatian dari kaum adam. Tapi tiba-tiba seorang--ya bisa di katakan cukup tampan dan memang merupakan idola sekampus-- menyatakan perasaannya padaku. Sammy, ia menyanyikan sebuah lagu romantis—entah judulnya apa aku lupa—dan memberiku sebuah bunga mawar berwarna kuning. Padahal aku baru mengenalnya dua minggu yang lalu, tanpa berfikir panjang aku segera mengambil mawar itu. Selama beberapa minggu kami bersama dan baru kuketahui bahwa ia menembakku hanya untuk sebuah taruhan. Yang membuatku naik pitam yaitu ia menembakku hanya untuk taruhan senilai 500 ribu rupiah ! Oh aku sangat kesal, maksudku apa harga diriku semurah itu ?! Dengan emosi meluap-luap aku menghampiri lelaki kurang dihajar itu. Ia masih mengira aku tidak mengetahui semua akting yang dilakoninya, hingga aku menamparnya dengan uang 500 ribu—uang bulananku--. Aku segera memarahinya habis-habisan, ia pun sangat terkejut.
“Dasar banci ! Beraninya cuma sama perempuan ! Jangan kira gue gak tahu semua akal busuk lo ya !? Dasar bencong bego ! Mawar kuning tuh bukan untuk menyatakan cinta, tapi untuk persahabatan ! Dan lagi lo sama temen-temen lo tuh, cih, kekanakan tau gak !? Taruhan nembak cewek, ckckc sekarang tuh zaman globalisasi, guys. Berfikir yang modern dong ! Dasar kampungan ! OH MY GOD ! Kalian tuh cowok apa cewek sih, ah nggak, gue yang sebagai cewek juga gak mau di samain sama cowok-cowok manja binti banci salon macam kalian”. Aku memukul-mukuli wajah dan tubuh Sammy hingga ia mengerang kesakitan. Jika bukan karena leraian sahabat-sahabatku dan teman-teman Sammy, mungkin aku bisa membuatnya masuk rumah sakit karena rasa malu. Untung saja tidak ada rasa cinta dalam hatiku, namun aku selalu meringis jika mengingat uang 500 ribuku melayang ke cowok banci itu.
Saat SMA aku adalah perempuan tomboy, aku tidak suka memakai baju feminim, tidak bisa memasak atau melakukan pekerjaan rumah dan lebih suka bermain dengan kaum adam. Namun saat SMA juga aku memutuskan untuk berubah menjadi seorang wanita sesungguhnya, ketika aku dan dia berpisah aku memutuskan untuk berubah. SMA, banyak orang yang beranggapan bahwa SMA adalah masa yang paling indah, tapi bagiku SMA adalah masa yang tidak terlupakan, karena tidak hanya manisnya madu yang kudapatkan darinya tapi juga pahitnya pare. Rasa pahit dari sebuah cinta yang tidak akan pernah terbalas. Sehingga aku harus mengubur dalam-dalam rasa cinta itu, tanpa melupakanya.
“Apa yang sedang kau fikirkan !?”
Aku kembali memfokuskan pandangaku ke layar komputer. Berpura-pura sibuk memeriksa data-data tamu yang sedang menginap malam ini. Padahal baru seminggu ini aku bekerja menjadi seorang resepsionis di salah satu hotel terkemuka, kenapa aku selalu mendapatkan makian !?
“Apa kau memikirkan semua resiko yang bisa kau dapatkan karena melakukan hal memalukan seperti itu ?”.
Memalukan ? Aku hanya sedang memberitahu para pembaca tentang percintaanku yang tidak pernah mulus ? Apa itu memalukan ? Ah, jangan bilang kalau ia menganggap percintaanku adalah sebuah aib ?!
Dengan berani aku menganggkat wajahku dan melirik sekilas kearah suara itu. Aku membuang nafas lega begitu mengetahui bahwa teguran itu tidak dimaksudkan untukku. Di depan mbak Dian si supervisor yang terkenal karena galaknya—kami biasa memanggilnya Mrs. Puff—berdiri seorang perempuan berbadan kecil menangis dengan seragam putihnya yang sedikit ternodai oleh sesuatu berwarna oranye, entah itu apa.
“Kau fikir hotel ini milik keluargamu ?! Jadi kau bisa bertindak sesuka hatimu ? Begitu ?” marah mbak Dian dengan suara melengking.
Oh, tidak lagi. Kenapa si Mrs. Puff selalu mengatakan hal yang sama ketika sedang marah !?
“Cepat pergi ke loker ! Ganti seragam KOTORMU itu dan kembali bekerja !”
Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada, “Cepat lakukan ! Jangan seperti anak kecil cengeng yang bisanya hanya menangis !” ucapku mengikuti gaya bicara dan suara melengking mbak Dian. Aku tersenyum sendiri, menertawakan tingkahku. Mungkin aku hanya sebagian dari karyawan hotel yang hafal dengan semua ceramahan mbak Dian.
“Ehem...”
Dengan sigap aku kembali mengatur pose seorang resepsionis profesional begitu mendengar deheman dari seseorang yang sudah berdiri di hadapanku. Seorang tamu berbadan tinggi, tegap, berwajah tegas dan... ujung bibir yang berkedut. Oh, ini tidak baik, jangan bilang bahwa ia melihat aksi konyolku. Suasana hening sejenak.
“...Ada yang bisa kami bantu ?”. Aku memasang kembali ‘topeng’ seorang resepsionis profesional. Senyuman merekah dan ramah. Aku menganggap bahwa kejadian konyol itu tidak pernah terjadi.
Lelaki itu kembali tersenyum.
“Aku ingin mereservasi satu president suite room di hotel ini”
“Untuk waktu berapa lama, tuan ?”
Lelaki itu menyipitkan matanya, berfikir sejenak.
“Jangan panggil saya ‘Tuan’ bagaimana kalau anda memanggil saya dengan...”
“...”
“Jonathan” sambungnya. Aku menatapnya aneh dalam hati, namun senyuman tetap melekat di wajahku.
“Baiklah, tuan Jo...”
Jonathan ?! Tidak, kenangan 5 tahun lalu kembali berputar dalam kepalaku. Kepalaku pening, ditambah dengan senyuman menyeringai lelaki itu yang membuat otakku tidak dapat perfikir. Aku menatap lelaki berbalut pakaian formal di hadapanku. Rambut hitam pekatnya, bewok halus di dagu hingga tulang pipinya yang tegas dan sebuah tahi lalat kecil yang berada di bawah mata kanannya. Oh, tidak. Entah sudah berapa puluh kali aku mengucapkan kata-kata itu. Tidak menungkin lelaki yang berdiri di hadapanku ini adalah...
“Jonathan ?!”
-------------------
“It’s hard to forget someone when they gave you so much to remember”—unknown