Kami tumbuh bersama sejak kami berusia 5 tahun. Ia adalah tetanggaku, saat aku tinggal di Bandung. Tapi kami tidak seperti ‘tetangga’ bisanya, setiap kali bertemu kami hanya bertengkar dan berkelahi. Saat SMP kami berada di sekolah yang sama dan pertengkaran kami berkurang—sangat berkurang—hingga SMA pun kami bersama, tumbuh bagaikan anak kembar yang tidak terpisahkan. Ia menganggapku sebagai adiknya, dan seharusnya aku juga menganggap dirinya sebagai kakakku.
Di SMA ia memiliki 2 orang sahabat lain, Tico dan Bod. Mereka adalah sahabatku juga. Kami berempat selalu bersama kemana pun, berlibur bersama, hang out bersama dan sebagainya. Namun tahap kedewasaan menjauhkan aku darinya, dari Jo. Di sekolah Jo adalah dewa impian semua siswi, tidak terkecuali aku. Aku tahu bahwa aku tidak boleh menginginkannya, karena persahabatan kami akan pasti akan hancur. Semua permasalahan datang setelah munculnya Angela dalam persahabatan kami. Angela adalah putri kesayangan di sekolah kami, dari dulu ia memang mencari perhatian Jo, tapi Jo tidak pernah menggubrisnya. Hingga muncul gosip bahwa mereka berpacaran, mungkin Jo memang telah jatuh cinta pada Angela, karena sejak saat itu Jo tidak pernah menghabiskan waktunya bersamaku. Saat hari kelulusan tiba aku tidak pernah berusaha untuk berkunjung atau menghubungi Jo, karena ia juga tidak melakukannya. Sekarang Angela adalah segalanya untuk Jo. Setelah itu aku memutuskan untuk memulai hidup baruku di Jakarta, tepatnya mencoba untuk melupakan Jo. Ya, melupakannya.
----
“Kenapa kau berteriak kepada orang itu ?! Itu adalah perbuatan yang sangaaaat tidak sopan !”
Ingin rasanya aku menyumpal kedua lubang kupingku dengan kapas begitu mendengar omelan mbak Dian. Jika dia selalu seperti ini aku yakin ia tidak akan pernah menikah.
“Jangan pernah mengulanginya lagi ! Terlebih, jangan pernah mencari masalah dengan lelaki itu. Dia adalah calon penerus hotel ini, Danni. Lebih baik kau melakukan pelayanan yang terbaik untuknya agar tidak di pecat”.
Aku kembali memijat keningku yang terasa berputar. Kata-kata Mrs. Puff masih terngiang di telingaku, tentu saja bukan bagian di saat dia meneriakiku, tapi kata-kata bahwa Jonathan adalah anak pemilik hotel ?! Sejaak kapaaan ? Sudahlah, sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Tapi setahuku pak Robert sang empunya hotel tidak memiliki seorang putra, apalagi seorang Jonathan ? Tuhan, mengapa kau membuat skenario hidupku begitu rumit ? Kumohon jangan jadikan Jonathan tokoh utama dalam kehidupanku ini, jadikanlah ia figuran ! Berikan ia bayaran yang banyak tapi jangan jadikan ia aktor dalam hidupku, Tuhan !
Dengan gusar aku mengacak-acak rambut hitamku. Untung saja besok libur, jadi aku tidak perlu bangun pagi untuk berdandan, menghabiskan waktu dengan senyuman kemudian membungkukkan badan bagaikan pajangan yang diletakkan di dashbor mobil.
Besok aku memutuskan untuk bermalasan seharian di rumah kontrakkan kecilku ini. Aku sengaja memilih kontrakan super kecil ini demi harga murah. Walaupun kecil tapi tempat ini bersih dan masih asri. Selama 5 tahun aku tidur di kasur berkapasitas satu orang ini sendirian, tanpa teman ataupun kekasih. Miris. Tapi biarlah, lebih baik aku sendiri daripada mendapatkan cinta temporer dari seorang lelaki.
Suara musik Cuppycake song melantun lembut dari handphone-ku. Dengan cepat aku bangkit dari tidurku dan meraih handphone-ku yang tertidur manis di atas meja rias. Wajah Mawar—sahabat seehidup sematiku—saat sedang melamun termampang jelas di layar handphone. Mawar sangat benci dengan foto ini, karena di foto ini dia terlihat saaanggaat berbeda. Hihihi. Tapi ekspresinya cukup menghiburku ketika sedang berada dalam mood yang buruk.
“Dan, ke bar yuk !”
“Hallo, iya, kabar baik di sini” ucapku malas. Seperti biasa, Mawar selalu to the point. Ia tidak pernah berbasa-basi, menanyakan kabar atau semacamnya.