-9 September 2007, Autumn Day in Busan-
Jeongkook terdiam di hadapan seorang namja paruh baya berjubah putih selutut itu. Sungguh, sebenarnya ia merasa sangat takut. Wajahnya juga sangat pucat. Tapi... bertemunya ia dengan dokter Choi bukanlah satu-satunya alasan mengapa ia menjadi sepucat ini.
Sejak kepergian Michelle ke Jerman, ia menjadi sangat pendiam dan tidak mau makan sama sekali. Ia selalu mengunci dirinya di kamar, dan bergulung di balik selimutnya. Alasannya? Jeongkook sangat malas melihat yeoja jalang itu berada di rumahnya. Yeoja jalang? Ah, iya. Maksudku sekretaris muda tuan Jeon. Atau mungkin sekarang aku harus menyebutnya ibu baru dari seorang Jeongkook? Huh, lupakan. Bahkan Jeongkook sendiri telah bersumpah tidak akan pernah mau menganggap yeoja itu sebagai ibunya.
Dan pagi ini, ia terpaksa harus dikejutkan dengan keberadaannya dalam sebuah ruangan bernuansa putih dan juga tirai berwarna hijau. Ia menjadi sangat bingung sekaligus takut setengah mati. Maksudku, dia selalu bertanya dalam hati, sejak kapan dirinya bisa ada di dalam ruang pasien?
Namun kini, ia mendapatkan jawabannya. Ia berada dalam ruang pasien khusus hypnotherapy, dengan seorang dokter psikolog yang sudah duduk di hadapannya. Namja paruh baya itu terus saja menatap Jeongkook lamat. Membuat Jeongkook sidikit bergedik, membayangkan apa yang akan dilakukan namja itu padanya. "geuraesseo... apa kau memiliki keluhan, tuan muda Jeon?"
Mendengar sang dokter menyebut 'tuan muda Jeon' padanya, Jeongkook hanya dapat mendengus benci. "jangan panggil aku seperti itu! Aku benci menjadi seorang anak dari si bajingan itu," balasnya dengan nada bengis.
Dokter Choi tidak bergeming, dan hanya menatap Jeongkook lamat, sama seperti sebelumnya. "apa kau memiliki keluhan, tuan muda Jeon?" lagi-lagi itulah yang dokter Choi tanyakan. Sungguh membuat Jeongkook sebal setengah mati, sampai akhirnya ia melingkarkan tangan kirinya di leher namja dengan jas putih tersebut. Tatapannya penuh dengan kebencian, seolah tengah menatap ayahnya, tuan Jeon In Seong. Sedangkan yang tengah ia cekik saat ini, hanya membalas tatapannya dengan sebuah tatapan tenang dan tak menunjukan ekspresi apapun.
Namun, sebuah bayangan kelam itu kembali melintas di kepala Jeongkook. Membuat namja itu tiba-tiba saja melepaskan cengkraman tangannya pada dokter Choi, dan menangis histeris secara tiba-tiba pula.
Melihat hal itu, dokter Choi hanya diam, masih menunjukan ketenangannya. Ia kemudian memegang kedua bahu Jeongkook erat, membuat Jeongkook menghadap padanya dengan paksa. Kedua mata namja itu masih mengeluarkan kesedihannya melalui air mata. Di persekian detik berikutnya, kedua ibu jari dokter Choi menutup lembut kedua kelopak mata Jeongkook. "ikuti kata-kataku. Buat dirimu tenang dan merasa nyaman," ujarnya.
Ajaib, Jeongkook menurut. Ia tidak lagi terisak. Bibir tipisnya nampak sudah tak bergetar lagi, begitu pula dengan air matanya yang tak mengeluarkan kristal cair hangat itu lagi. "dengarkan pertanyaanku, jawab apabila kau ingin, dan jangan menjawabnya kalau kau sendiri merasa itu tidak perlu," ujar dokter Choi yang direspon anggukan pelan kepala Jeongkook.
"geuraesseo... nuguseyo?" itulah pertanyaan pertama dari dokter Choi. "Jeon Jeongkook," jawab Jeongkook singkat. "geurom?" tanya dokter Choi untuk yang kedua kalinya. "putera dari pasangan Jeon In Seong dan Han Ji Soo, siswa kelas tiga Busan of Management High School, penerus perusahaan JeonGeum Group, sahabat dari seorang Michelle Carl."
Dokter Choi terdiam sesaat. Sebenarnya hatinya merasa ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Tapi... tuan Jeon sendiri sudah membayarnya mahal hanya untuk menyembuhkan trauma Jeongkook. Jadi, ia sendiri pun tidak punya pilihan lain. "geurom?" tanyanya-lagi-. Jeongkook nampak terdiam, sebelum akhirnya kembali menjawab dengan suara bergetar. "seorang pembunuh,"
YOU ARE READING
THE SECRET Behind The Smile (BTS Jeongkook FanFiction)
FanfictionSaat di mana Jeongkook selalu menunjukan senyum palsunya pada semua orang.