Bagian 4

300 15 4
                                    

Di luar langit sudah mulai gelap tapi gadis itu enggan beranjak dari tempat duduknya. Masih menikmati semilir angin senja yang sebentar lagi akan terganti oleh gelapnya malam. Desau angin menerpa tubuhnya memberi rasa tenang yang menghanyutkan. Memejamkan mata dan kenangan itu menyeruak masuk begitu saja. Membuat perasaan bersalah dan menyesal terus menghantuinya. Cairan bening itu mengalir begitu saja membentuk anak sungai dikedua pipinya.

Hancur, benci, marah dan kecewa berbaur menjadi satu kesatuan yang menggerogoti luka yang kian parah dan bernanah. Perihnya tiada terkira, sakitnya tak usah ditanya.

Sakit itu ia tanggung seorang diri lalu dibiarkan rasa sakit yang tak tertahankan menyelimuti hatinya. Selama tidak akan mati, maka semuanya akan baik-baik saja.

Walaupun hidupnya tak lagi sama. Walau hatinya sudah tak berbentuk, hancur. Biarlah, bukankah waktu terus berjalan maju?

Menyendiri dalam kesunyian, Menangis dalam kenangan berselimut penyesalan.

Kesedihan yang ia pikul sudah tidak di pedulikannya. Ketika kepercayaan berbuah penghianatan akhirnya hanya meninggalkan luka. Membuat semua yang dilakukanya selama ini seperti pecahan kaca yang menancap pada hatinya. Merasuk menyesakkan dan membusuk mengenaskan.

Kepingannya sudah tak berbentuk lagi. Hancur melebur dalam arus peperangan batin yang tengah ia rasakan. Semuanya sudah tak lagi sama. Hatinya merana berpalang duka. Sayatannya masih terasa, lukanya kian menganga.

Redaman rasa sakit selalu ia lakukan tapi semakin ia menekannya maka sakit itu kian terasa. Penyesalan selalu menghantuinya. Andai saja dulu ia mau mendengarkan orang itu- sahabatnya, pasti tak akan begini. Andai saja dia tak bertemu dengan dia, andai saja dia bisa menjaga hatinya agar tidak jatuh pada dia, andai saja... Hah, berandai-andai hanya semakin membuat air matanya semakin deras.

Kilasan itu...

*****

Flashback

"Kau pucat sekali, apa kau sakit?" pria itu menghapirinya lalu menempelkan punggung tangannya pada kening gadis itu. "tidak panas," gumamnya.

"Berlebihan sekali," menyingkirkan tangan pria itu dari keningnya. Meneruskan langkahnya yang tadi sempat tertunda.

Kepalanya memang sering pusing akhir akhir ini. Perutnya pun sering mual apalagi kalau mencium bau yang amis-amis. Mungkin ini dikarenakan stress yang melandanya sejak kejadian itu. Ahh sudah lah ia sedang tidak ingin mengingatnya, ia lelah dan ingin segera istirahat di ranjangnya.

"Dara," yang dipanggil hanya memutar bola matanya jengah. Apalagi sih? Pikirnya.

"Apa kau sedang datang bulan?" Dara menghentikan langkahnya. Datang bulan? Dia lupa kapan terakhir kali dia datang bulan. Berbalik dan tatapanya bertemu dengan mata cokelat keemasan milik pria itu. Dahinya mengernyit keheranan.

"Itu ada noda darah di," berhenti sejenak, " tapi kenapa banyak sekali?" matanya membola, kaget. Ketika di dapatinya darah itu juga ada di kaki gadis itu. Melangkah, mendekati gadis itu. "Kau kenapa, huh?" dicengkeramnya pudak gadis itu. Namun terlambat gadis itu sudah tak sadarkan yang langsung ia dekap tubuh itu.

*****

Ia mulai membuka matanya. Rasanya sudah cukup selama ini terus meratapi semuanya. Ia harus bangkit meski rasanya sudah tak lagi sama. Yah, yang sudah hancur mana bisa akan kembali seperti semula? Buang saja lalu ganti yang baru. Itu jauh lebih baik, percayalah.

"Kau sudah makan?" suara itu memecah keheningan yang tercipta beberapa saat lalu. Ia menatap orang yang tadi bertanya padanya lalu tersenyum tulus. Orang itu terpana melihat senyuman yang selama ini menghilang sekarang telah kembali. Balas tersenyum lalu berjalan menghapirinya yang tengah duduk di depan jendela. Mengambil duduk di samping dan masih terus mengamati. Ada jejak basah di kedua pipinya. Menangis lagi rupannya.

"Tadi aku memasak makanan kesukaanmu. Ayo kita makan," suara orang itu begitu ceria disertai tarikan bibirnya yang membentuk sebuah senyuman yang lebar. Berdiri lantas menariknya.

"Kau tidak meracuniku 'kan?"

"Kau akan mati kekenyangan setelah memakannya!" dan seketika suara tawa memenuhi ruangan yang sebelumnya sunyi itu.

*****

"Kemana kak Adam?" suara mobil di luar sudah cukup menjelaskan bahwa orang yang tadi ia tanyakan telah datang.

Gadis itu melanjutkan makannya. Menikmati setiap rasa yang tedapat di tiap kunyahanny. Ia harus tetap makan jika masih ingin melanjutkan hidup. Cukup beberapa waktu yang lalu saja ia mengabaikan indahnya rasa makanan.

"Kau masak apa sayang?" Pria itu menghampiri orang yang tengah mengambil nasi lalu menaruhnya di atas piring. Memeluk tubuh itu lalu menenggelamkan kepalanya pada ceruk lehernya, menghidu aroma yang telah ia rindukan seharian ini. Aroma yang memabukkan sekaligus menjadi candunya.

"Makan lah," Pria itu menurunkan tangannya. Melepas pelukan tadi. Berjalan menarik kursi lalu mengambil duduk di ujung meja makan yang ditempatkan sebagai kepala keluarga. Di sebelah kirinya duduk seorang gadis yang terasa jengah dan bosan melihat adegan tadi. Adam tersenyum karena gadis itu sudah bisa berekspresi tidak seperti beberapa waktu yang lalu.

"Oh iya, kakak mu akan datang ke sini dan kita harus menjeputnya," ujarnya riang disertai senyuman yang begitu menawan. Senyuman yang sampai saat ini membuat jantung orang di sebelah kananya kebat kebit tak karuan.

"Kenapa dia tidak menghubungiku? Kurang ajar sekali!" protesnya yang membuat Adam tersenyum geli. Tapi ia tahu wanita ini senang kakaknya datang. Hanya saja dia memang seperti itu- selalu merasa di abaikan oleh kakaknya jika itu menyangkut Adam- suaminya.

"Kau juga harus ikut Dara," seketika itu juga Dara menghentikan makannya. Menatap horror.

*****

No edit.

Typo bertebaran ..

Beautiful LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang