Fare la Vasca

516 68 4
                                    

Lengkingan khas milik Fernanda yang baru pulang kampus merusak ketenangan apartemen sore itu.

"Tebak kenapa aku begitu gembira?" ujarnya pada Arianna yang sedang malas-malasan di atas sofa sambil menonton acara musik.

Jelas saja Arianna tidak tahu tapi dicobanya juga. "Menang lotre?"

Fernanda menggeleng cepat, "Pesta, Bodoh!" serunya. "Eduardo mengundangku ke pesta di apartemennya malam ini. Dan dia bilang boleh membawa siapa saja."

Arianna menguap bosan. "Kurasa aku tidak bisa ikut."

"Kukira malam ini kau tidak bekerja."

"Aku lelah." Itu benar, setelah melewati dua hari menjelang akhir pekan badannya terasa remuk karena ramainya pengunjung di pizzeria.

"Oh, ayolah, Arianna," Fernanda merayunya. "Sudah lama sekali aku tidak ke festa espagnola—pesta mahasiswa Spanyol. Aku benar-benar merindukan calimuchosemacam cocktail," desahnya.

"Kalau begitu biarkan aku tidur dengan tenang sekarang," putus Arianna akhirnya setelah menimbang-nimbang.

"Apa aku baru saja mendengar kata pesta?" Tiba-tiba Flavio muncul di dapur dan membuka kulkas untuk mengambil minuman dingin.

"Tentu saja. Dan kau boleh ikut tapi dengan syarat."

Flavio menyeringai. "Katakan."

Fernanda tersenyum centil lantas mendekati Flavio. "Giuliano," bisiknya di telinga pemuda itu. "Pastikan dia ikut denganmu malam ini."

Dari sofa terdengar erangan panjang Arianna. Ikut pesta orang Spanyol sudah buruk, tapi keikutsertaan orang asing itu jauh lebih buruk.

***

"Pakai ini." Dengan sekali tarik, Fernanda menyingkirkan syal rajut polos dari leher Arianna dan menggantinya dengan syal bunga-bunga halus berbahan kashmir miliknya.

"Kembalikan!" protes Arianna sambil merenggut benda yang sekarang melingkar di lehernya. Sedetik kemudian matanya membelalak ketika mengenali label yang tertera di syal tersebut. "Gucci?"

Fernanda tersenyum bangga sambil kembali melingkarkan syal tersebut di leher Arianna. "Terlihat begitu Italia, bukan?"

"Dan memakainya saat ke pesta orang Spanyol?" Arianna memutar bola mata mengingat hobi sahabatnya yang menguras kantong ini. "Kenapa kau tidak memberikanku—err—Louboutin saja, misalnya?" usulnya sinis.

"Mungkin maksudmu Balenciaga. Louboutin berasal Prancis dan dia tidak menjual syal, Sayang," ralat Fernanda sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Sekarang lihat aku," perintahnya. "Apa menurutmu ini cukup untuk menarik perhatian Giuliano?" tanyanya sambil tersenyum ceria.

"Kukira kita hanya akan ke pesta mahasiswa dan bukannya menonton peluncuran koleksi adibusana di Milan," sindir Arianna ketika melihat jaket berbahan kulit panjang dengan bulu-bulu artifisial di leher dipadu ikat pinggang lebar berwarna keemasan yang dikenakan Fernanda.

"Memangnya kenapa?" desah Fernanda. "Irina Shayk mengenakannya dua tahun lalu di Vogue."

"Singkatnya kau ingin mengungkap identitasmu sebagai penggemar obralan?"

Fernanda hanya terkikik. "Kaukira berapa harganya kalau baru? Demi Tuhan, Arianna. Seharusnya akulah si Italia dan kau gadis Spanyol-nya," keluhnya.

Arianna memutar bola mata. Fernanda mungkin benar. Berbeda dengan kebanyakan orang Italia pada umumnya, Arianna termasuk sangat tidak modis. Dia tidak terlalu memusingkan masalah la bella figuraberpenampilan modis/keren di muka umum. Mungkin karena pikirannya sudah dipenuhi terlalu banyak hal—misalnya bagaimana bisa mendapatkan uang lebih untuk kebutuhan hidup dan kuliah tanpa harus menyusahkan ibunya yang seorang janda. Sebaliknya, Fernanda adalah fashionista sejati yang menjadikan Carrie Bradshaw sebagai panutan. Arianna kerap bertanya dalam hati bagaimana gadis itu bisa menghemat pengeluarannya yang lain hanya demi membeli benda-benda seperti ini. Kalau pilihannya diserahkan pada Arianna, maka jawabannya sudah jelas. Dia pasti memilih menabung untuk masa depan ketimbang menghabiskan uang untuk barang-barang mahal yang bahkan belum tentu laku setengah harga bila dijual kembali.

Cinta, Pasta, dan Sepakbola (Il Gladiatore di Perugia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang