14th trouble

16.2K 1.5K 145
                                    

E  M  P  A  T  -  B  E  L  A  S

          Kedua kaki yang kokoh bermain dengan lihai di atas lapangan berlapis beton. Beberapa remaja laki-laki mencoba menghalangi laki-laki ber-jersey nomor 6 itu, namun berhasil dihadang balik oleh lawannya yang ada di depan.

          Recza, meskipun dirinya sedang berlatih bersama anggota futsal yang lain, pikirannya tidak bisa ia fokuskan sedaritadi.

          Gadis itu, gadis atraktif Bakti Nusa itu terus meracuni otaknya untuk berkonsentrasi pada latihan sore ini. Recza tidak bisa berhenti untuk tidak mengingat sebuah kejadian dimana Adiska terlihat akur dengan Arai. Sebuah keanehan bahwa hal itu baru saja terjadi.

          Arai yang sekarang berada di depan Recza kali itu, segera menghadang serangan Recza yang merupakan striker.

          Dengan cepat, Singa Bakti Nusa itu merebut bola dan menghentakkan kakinya sehingga bola itu melambung jauh―masuk tepat ke dalam gawang.

          Anak-anak yang satu tim dengan Arai, bersorak-sorai saat tim mereka berhasil mencetak skor dalam latihan ini. Memang ini bukanlah suatu kejuaraan, tapi ketika Arai berhasil mengalahkan Recza adalah suatu hal yang jarang terjadi. Karena biasanya, keduanya setara―kalau sama-sama tidak mencetak skor, paling tidak skor mereka seri.

          Pluit dari sang pelatih berbunyi nyaring, membuat semuanya berpencar untuk beristirahat.

          Radhi―yang merupakan kapten tim inti futsal Bakti Nusa sekaligus pelatih hari itu, menghampiri Recza yang sedang membasuh keringatnya dengan punggung tangan.

          "Gak biasanya lo kecolongan skor sama si Arai, Za," ujar Radhi dengan salah satu tangannya mendarat di bahu Recza. "Lo lagi ada masalah? Gue lihat, lo kayak gak konsen gitu pas main tadi."

          Recza melirik sekilas ke arah senior yang juga merupakan ketua OSIS itu. "Enggak. Gue kebetulan lagi gak fit hari ini, Dhi."

          "Oh...." Radhi mengangguk pelan. "Ya udah kalau gitu. Lo istirahat aja. Kalau ada apa-apa, gue ada di ruang OSIS."

          Recza pun hanya menjawabnya dengan sebuah acungan jempol. Sebuah botol mineral yang berdiri di sebelah tas hitamnya, menjadi daya tariknya saat ini.

          Tegukan demi tegukan terus bermunculan, berharap dahaganya menghilang. Andai saja pikirannya tentang Adiska bisa hilang semudah menghilangkan rasa hausnya, mungkin Recza sekarang bisa bersikap tidak peduli dan santai menjalani aktivitasnya seperti biasa. Hanya saja kali ini terasa berbeda.

          Menangkap sebuah senyuman yang muncul di wajah Adiska terhadap Arai tadi, membuat cowok yang satu kelas dengan Adiska itu sedikit geram. Apalagi kalau mengingat cewek itu yang tiba-tiba bercerita dengan antusias tentang dirinya yang ditolong oleh Arai.

          Panjang umur, Arai akhirnya muncul di hadapannya―melangkahkan kakinya yang kemudian duduk di kursi panjang bersebelahan dengan Recza.

          Recza tidak memedulikan keberadaan seniornya itu. Ia tetap menaruh pandangannya ke lapangan yang mulai sepi, sambil meneguk air mineralnya untuk yang kedua kalinya.

          "Tumben, lo gak pulang bareng sama Adis," kata Arai, dengan nada yang seolah-olah menyindir Recza.

          "Apa peduli lo?" Recza menutup botol minuman yang sudah tidak ada isinya. "Ngapain lo nanyain cewek yang notabene adalah musuh lo?"

          Arai terkekeh pelan. "Siapa bilang dia musuh? Gue sama dia bukan musuh lagi."

          Kali ini, tatapan sinis Recza tertuju pada cowok yang dianggapnya sialan itu. "Lo pasti lagi mempermainkan Diska, kan? Lo emang cowok sialan, Rai! Dari dulu, kerjaan lo cuma mempermainkan cewek. Bahkan dia yang percaya sama lo, lo kecewain gitu aja―"

CounterpartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang