Kau selalu disamping aku, selalu mengikuti aku seperti ketika kita masih di sekolah dasar. Itu terus terjadi sampai kita menginjak bangku perkuliahan. Jurusan kita tidak sama, tapi kau selalu bisa menemani aku, mendengarkan keluh kesahku dengan sabar, sesabar aku mendengarkan keluh kesah yang kau lontarkan semasa kecil dulu.
Orang bilang pria tumbuh dengan cepat. Di universitas kaulah yang melindungi aku. Kau yang dulunya bertubuh lebih pendek dariku perlahan-lahan semakin meninggi, bahkan untuk sekedar berbicara akupun harus mendongkakkan kepala. Saat kau mengucapkan sesuatu mengapa bagiku terdengar begitu berwibawa.
Kedekatan kau dan aku semakin membuat teman-teman sekampus salah sangka. Selalu saja kau anggap enteng pertanyaan-pertanyaan yang menghujam. Kau tahu? Kita sudah dewasa, sudah saatnya memikirkan sebuah hubungan yang lebih khusus, tapi kata cinta tidak pernah terucap dan kata sayang tak pernah terdengar.
Hari demi hari, kau secara tidak sadar makin membuat aku menderita. Aku bukan kembang kampus. Gara-gara kau manusia licik, aku tak punya satupun teman pria lain selain kau. Setiap pria yang kutemui selalu menjaga jarak denganku. Teman wanita pun tidak ada rasanya, semua wanita se-kampus membenci aku.
“Menjauhlah dariku,” kataku pada kau yang makin sering di sampingku. “Apa yang kau inginkan dariku, aku juga ingin mempunyai banyak teman. Tak tahukah kamu sikapmu yang mengekangku membatasi pergaulanku. Tidak ada satupun pria yang mendekatiku, banyak wanita yang membenciku.”
Kau hanya tersenyum dan mengacak rambutku pelan. “Tidak ada alasan bagiku untuk menjauhimu. Soal sahabat yang lain, bukankah aku saja sudah cukup jadi temanmu?” Dua baris kalimat yang kau ucapkan itu semakin membuatku bingung. Debaran ini makin tak bisa aku kontrol.