Angga, Adit, Kara

26 0 0
                                    

"Angga, cepetan dikit, dong!!"

"Iya, iya! Ini juga lagi jalan ke mobil!"

Gue memasang sepatu gue dengan asal-asalan. Kemudian, gue lari ke garasi dan menemukan kakak gue yang melotot. Melototin gue, of course.

Gue cuma nyengir kuda dan masuk ke dalam mobil. Duduk di sebelahnya, di kursi depan.

"Lelet banget, sih, jadi cowok!" Kakak gue bersungut-sungut sambil mulai menyetir. "Udah SMA masih aja kayak bocah!" gerutunya.

"Sorry, elah. Ini juga kan hari pertama gue jadi anak SMA, Kak." Gue membela diri gue sendiri.

Kakak gue menghela napas panjang. "Justru karena lo udah SMA hari ini, Ga. Baru hari pertama di SMA, eh, udah telat!" Dia menekan klakson dan kembali berbicara, "Nyali lo segede apa sih?"

"Ya lagian gue gak dibangunin!" gue bersungut-sungut. "Bukan salah gue juga, kan."

Kakak gue melongo. "Dewangga Adiprayuta, gue gak ngerti lagi sama lo," katanya, pasrah.

Gue cuma nyengir kuda. Cengiran gue lenyap ketika gue melihat jalan yang penuh mobil. Dengan kata lain, macet.

"Ga, mendingan lo turun dan lari ke sekolah," ucap kakak gue, "gue doain lo dari sini. Gue juga harus kuliah, oke?"

Gue membuka pintu mobil dan menyandang tas. "Tanpa lo suruh pun gue bakal turun, Kak!"

Yang gue pikirin saat itu cuma satu,

Gimana caranya supaya gue sampe ke sekolah dalam waktu lima menit?

***

Hai, ini Angga. Lagi digiring ke kelas X-A sama guru BK.

Yah, mungkin lo bingung sekarang. Gimana caranya gue bisa masuk ke sekolah padahal gue telat lima belas menit? Ternyata, kakak gue yang pintar itu nelepon wali kelas gue, yang dulunya wali kelas dia, dan guru BK yang dia kenal dekat. Dia beralasan gue diare dan bolak-balik ke toilet, makanya gue telat.

Enaknya, punya kakak pintar yang bisa diajak kerja sama.

"Ini kelas kamu," kata Pak Santos, guru BK. Pak Santos membuka pintu kelas, membuat semua orang memerhatikan pintu. "Pak Hamid, ini anaknya udah datang."

Gue masuk ke dalam kelas. Sumpah, semua orang merhatiin gue dan rasanya risih. Risih banget.

Pak Hamid, wali kelas gue, mendekati gue. "Dewangga Adiprayuta, ya? Adiknya Carissa?"

"Iya, Pak," jawab gue. "Maaf, ya, Pak. Padahal baru hari pertama," lanjut gue dengan nada sok menyesal.

Pak Hamid hanya menepuk pundak gue dan mengusapnya. "Gak apa-apa. Nah, sekarang kamu duduk di sana, ya, Nak," suruhnya.

Seketika, gue mengutuk diri gue sendiri. Coba kalau gue gak telat, pasti gue gak bakal dapat tempat duduk di barisan kedua dari depan meja guru.

Shit. Gimana caranya supaya gue gak ketauan lagi tidur di tengah jam pelajaran?

Cuma itu yang keluar di otak gue.

Namun, mengingat gue hanyalah anak kelas sepuluh yang dengan kurang ajarnya udah telat di hari pertama masuk, gue hanya mengangguk (sok) sopan. Yang dibalas dengan senyuman oleh Pak Hamid.

Dengan lunglai, gue berjalan menuju bangku kayu itu dan duduk di atasnya.

"Oke, Anak-anak. Bapak akan kembali menjelaskan peraturan sekolah!" seru Pak Hamid. Beliau mulai asyik berbicara.

Gue gak begitu mendengarkan penjelasan Pak Hamid. Gue lebih tertarik untuk memperhatikan teman-teman sekelas gue satu per satu.

Mata gue melirik ke arah teman sebangku gue. Cowok. Ternyata, dia juga gak memperhatikan Pak Hamid. Sibuk menggambar. Bagus, sih, gambarnya.

"Gambar lo bagus," puji gue. Membuat laki-laki itu menengok.

"Thanks," balasnya. Kemudian, dia meletakkan pensil yang tadi dia pakai dan berkata, "Adit."

Gue mengangguk-angguk. "Angga," ucap gue. "Lo suka gambar?"

Adit mengangguk. "Suka banget, Bro. Dari kecil gue gak pernah bisa pisah dari pensil dan perintilan-perintilannya," jawab Adit. "Lo?"

"Gak. Gue gak bisa gambar," gue menjawab, "tapi suka aja liatin orang gambar. Keren aja."

"Cewek di depan kita juga suka gambar, tuh," kata Adit, ngasih sekedar info. "Woy, Kar, nengok sini, dong!" Ia memanggil cewek yang duduk di depan kita.

Cewek itu menengok. "Apaan, sih, Dit? Gue lagi tumben-tumbenan bisa gambar tangan!" gerutunya.

"Manggil doang."

"Gak jelas," ejek cewek itu sambil memutar bola matanya. Secara gak sengaja, matanya bertemu dengan mata gue. "Eh, siapa, nih? Tadi telat, ya?" tanya cewek itu.

"Angga. Baru masuk," jawab gue.

Cewek itu ber-oh-oh ria sebelum mengenalkan dirinya pada gue, "Kenalin, Amaris Charasena. Panggil aja Kara."

Gue mengangguk. "Nama lo bagus," puji gue.

"Biasa aja, ah." Kara tersenyum simpul.

"Bagus. Kayak ... nama OSIS."

"Sialan lo."

Adit (yang ternyata nguping) cuma ketawa.

***

Itu pertama kali gue ketemu Kara dan Adit. Dua orang yang sekarang jadi teman baik gue.

Gue lebih dekat sama Kara. Soalnya, dia sering curhat ke gue. Dia bilang, kalau anak cowok lebih enak diajak curhat daripada cewek. Plus, dibanding Adit, gue lebih ramai. Jadinya, Kara lebih sering main sama gue.

Walaupun begitu, gue juga deket sama Adit. Kita sering nongkrong atau cabut kelas bareng. Yah, walaupun tahun ini kita semua gak ada yang sekelas. Gue di XII IPA 1, Adit di XII IPS 2, dan Kara di XII IPA 4.

Segini dulu cerita gue hari ini. Gue udah dipanggil sama Nyokap. Disuruh mandi.

Besok-besok gue bakal lanjutin cerita ini kalau gak ada PR.

Oke, sampe ketemu lagi.

Salam metal,

Angga.

Amaris CharasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang