Adit yang Nyeni

26 0 0
                                    

Hai, ini Angga. Baru aja pulang dari rumahnya Adit. Gak jauh, sih, rumahnya, tapi macet.

Sekarang jam enam sore. Mumpung besok gak ada ulangan, gue mau lanjutin ceritanya ke lo semua.

Cerita kali ini gak akan ada hubungannya sama Kara, tapi orang ini adalah orang yang berharga bagi gue dan Kara.

Kali ini tentang,

Adit.

Sahabat gue yang amat sangat nyeni.

(Dan mukanya juga nyeni. Ini sarkastik.)

***

Pelajaran Seni Rupa. Kelas 10.

Pelajaran Seni Rupa selalu jadi pelajaran yang paling gue benci. Dari SD sampai sekarang.

Lalu, lo semua bertanya, kenapa?

Ya karena gue gak bisa gambar, Bodoh.

Berbanding terbalik dengan Kara dan Adit yang secara harfiah menjadi murid kesayangan Pak Dediㅡguru Seni Rupa, gue merupakan murid kesayangan beliau dalam tanda kutip.

Sumpah demi nilai ujian Fisika gue kemarin, gambar meja aja gue gak bisa.

Dan hal ini bikin Adit stress.

Adit, yang notabene-nya adalah calon mahasiswa Seni Murni, langsung stress berat ketika dia lihat gambar gue.

Gimana gak stress? Waktu disuruh gambar muka teman sebangku, Adit menggambar gue dengan sangat-realistis-tapi-agak-lebih-ganteng. Sedangkan gue? Muka Adit jadi kayak Wewe Gombel di kertas gambar ukuran A3 itu.

"Rasanya gambar lo pengen gue hapus, terus gue gambar ulang."

Itu kata Adit ketika lihat gambar gue.

"Muka lo juga pengen gue hapus, terus gue gambar ulang."

Itu lanjutannya. Tai.

***

Pengambilan rapor. Semester 2.

"Dewangga Adiprayuta!"

Ibu gue langsung berdiri dari duduknya ketika nama gue dipanggil. Ibu berjalan ke arah Pak Hamid, yang menunggu kami berdua di meja depan bersama dengan setumpuk rapor milik anak sekelas.

Ibu duduk di kursi, gue juga. Pak Hamid kemudian membuka rapor gue dan memberikannya pada Ibu.

"Alhamdulillah, Bu, Angga naik ke kelas 11," ucap Pak Hamid, dengan senyum khasnya. "Dan di kelas 11 nanti, Angga akan belajar di kelompok IPA, ya, Bu," lanjut Pak Hamid. Ibu hanya ber-oh ria sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Oh iya, Pak, selama dua semester ini, Angga gak ada masalah, kan?" tanya Ibu. Pak Hamid tertawa, gue tersenyum kecut.

"Gak, kok, Bu. Sikapnya baik-baik aja. Paling telatnya aja yang dikurangin, ya, Nak," jawab Pak Hamid. Gue memaksakan senyum pasrah.

"Ini, nih, Pak. Susah banget dibangunin! Bangunin dia bisa sampe sejam, loh!" Ibu menepuk pundak gue pelan. Lagi-lagi, gue memaksakan senyum pasrah. Pak Hamid tertawa pelan.

"Nilai Angga juga aman, kok, Bu. Itu bisa dilihat sendiri di rapor," ujar Pak Hamid. Ibu langsung menelusuri rapor gue. Tiba-tiba, matanya melotot kaget.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Amaris CharasenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang