O N E

154K 4.5K 57
                                    

~01~

-Semakin besar usahamu untuk mempertahankannya maka semakin besar pula kemungkinan kau akan kehilangannya-
---

Gadis berambut ikal sepunggung itu mencebik kesal mendengar suara jeritan teman-teman sekelasnya yang menurutnya sangat menganggu telinga itu. Jessica—gadis itu melepaskan kacamata minus yang sebelumnya berada di matanya sambil memijat batang hidungnya.

Novel fiksi ilmiah yang tadinya terbuka kini sudah tertutup rapat. Helaan napas akhirnya lolos dari bibir tipisnya.

"Bisa tenang, nggak?" bentak Jessica sembari mengebrak meja. Seketika pandangan semua siswi yang berada di pintu menoleh kearahnya, hanya beberapa detik, hingga mereka kembali menjerit histeris terhadap sesuatu yang berada di koridor.

Perempuan berambut pendek sebahu—yang duduk di sebelah Jessica—tertawa lantang, hingga remah-remah keripik beterbangan dari mulutnya, "Nggak guna kali lo marah-marah kayak gitu," ucap Rita—sahabat gila Jessica.

"Ternyata masih ada juga cewek waras di sekolah kita yak," tukas Robby—berandal kelas XII IPA 1.

Laki-laki yang duduk di sebelah Robby mengangguk setuju, "Gue kira semua udah gila karena Raka. Ah, enak banget punya muka ganteng yah," Yogi mendesah kesal.

Jessica mendengus lalu mengambil alih bungkusan keripik milik Rita. Dia duduk menyamping menghadap Rita yang berusaha menarik kembali makanannya, "Emang Raka siapa, sih?" tanya Jessica sambil mengunyah keripik balado.

Rita menepuk dahinya, matanya berputar malas, "Ya Tuhan... Sicca, masa Raka aja lo nggak tau. Lo dari zaman apa, sih? Paleolithikum?"

Jessica memutar bola matanya, "Emang gue harus tau, gitu? Emang dia Presiden kita yang baru? Kayaknya Presiden masih Pak Jokowi."

Rita mendadak serius, "Raka itu dokter UKS yang baru. Emang belum lama sih... kayaknya baru tiga bulan."

"Terus?"

"Dia ganteng, Sicca. Lebih ganteng dari Adam Levine yang lo suka itu," tambah Rita berlebihan. Bagi seorang Jessica Queen Feby, Adam Levine satu-satunya laki-laki yang menurutnya tampan. Mungkin Adam tidak tampan bagi kalian, tapi bagi Jessica, dialah Surga.

"Nggak mungkin," sangkal Jessica santai.

Rita tiba-tiba menunjuk kerumunan yang ramai di koridor, "Terus itu apa? Lo kira cewek secantik Tika yang standar cowok-nya tinggi banget rela jerit-jerit kayak gitu?"

Jessica mengedikkan bahunya, "Dia 'kan emang lebay dari dulu. Mana tau tadi kejedot."

Berdebat dengan Jessica sama dengan nol. Jessica itu terlalu logika, hingga Rita saja ragu jika perempuan itu punya perasaan. "Oke, gue kalah. Capek tauk ngomong sama elu." Rita menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya. Meninggalkan Jessica yang masih fokus mengunyah keripik balado sambil melirik pintu kelas yang terasa sesak dan tentunya ribut.

***

"Ini kenapa lagi...?" desis Jessica sambil berlari. Rita menggeleng tanda tidak tau.

"Lo punya skandal baru kali. Kan nggak mungkin orang-orang jurnal ngejar kita kayak gini," jawab Rita dengan terengah-engah.

Jessica menggeleng, "Atau lo yang punya gosip baru?" tudingnya saat kakinya berbelok ke arah gudang.

"Lo kali. Lo punya pacar baru, ya?" Rita balik menuduh sembari menormalkan napasnya. Kini mereka sedang berada di gudang penyimpanan peralatan olahraga. Entah kenapa, dua menit yang lalu, Rizal—ketua klub jurnal—mewawancarai Jessica. Rita yang kebetulan sedang bersama Jessica harus terkena imbasnya, sebab Jessica adalah siswi yang terkenal di sekolah mereka.

Tangan Jessica mulai mengikat asal rambut panjangnya. Tangannya merogoh saku roknya, mengeluarkan benda pipih silver. Tangannya mulai menari diatas layar ponselnya.

"Kita harus cari bantuan," ucap Jessica. Rita mengerutkan dahinya, tidak mengerti maksud sahabatnya itu. "Sama siapa?"

"Siapa aja."

Jessica mengirimi pesan ke semua kontak yang ada di LINE-nya. Dia punya dua LINE, satu hanya untuk orang-prang terdekat, sedangkam yang satu untuk semua orang yang kepo tentang dirinya. Kadang orang-orang seperti itu dibutuhkan disaat-saat seperti sekarang.

Tidak lama, dua orang anggota klub futsal yang kebetulan sedang latihan di lapangan di dekat gudang—yang merupakan pembaca pertama pesan yang dikirim Jessica—sudah tiba di tempat. Jessica ingat orang itu, Andi dan Rafa, laki-laki yang sering menggodanya di kantin.

"Kamu perlu apa Nona Jessica?" tanya Rafa dengan gombalnya. Rita merinding tiba-tiba mendengar ucapan Rafa.

"Lo berdua bisa nggak bantu kita keluar dari sini? Orang jurnal ngejar gue dan temen gue. Dan lo berdua harus ngalihin perhatian mereka."

Andi dan Rafa mengangguk, mereka langsung melihat sekitar. Bersamaan dengan berlarinya Jessica dan Rita, Rizal beserta anak buahnya melihat mereka.

"Kalian lari! Kita bakal urus yang ini," ucap Andi.

Jessica mengangguk, "Thanks yo."

***

Begitu sampai di gerbang sekolah, Jessica dan Rita berpisah. Rita dijemput ayahnya, dan Jessica menuju ke parkiran. Tubuhnya sudah terasa lengket karena keringat akibat berlari tadi. Dia sudah mengatur rencana selanjutnya. Pulang, mandi, makan, dan tidur. PR? Itu urusan mudah bagi Jessica.

Sesampainya di parkiran, emosi Jessica serasa di uji. Mobil yang dibelinya dengan tabungan sendiri tergores. Dan lagi goresan itu cukup panjang. 20 senti itu bukan ukuran yang pendek. Rasanya Jessica ingin menangis karena dia sudah menganggap mobil berwarna hitam itu seperti adiknya. Karena dia tidak punya adik melainkan hanya kakak laki-laki yang aneh.

"Aaaa... ujian apa ini Ya Tuhan..." rengek Jessica meraba goresan yang terasa sangat kasar di kulitnya. Hatinya terasa tergores juga melihat goresan yang menurutnya sudah sangat tidak masuk akal.

Jessica terduduk diatas tanah. Tidak menghiraukan roknya yang sudah kotor. Untung saja sekolah sudah sepi, sehingga dia tidak perlu memikirkan citranya. Citra? Jessica tidak pernah menghiraukan yang satu ini.

Mata Jessica tertuju pada CCTV yang terpasang di ujung bangunan di samping parkiran. Jessica baru ingat jika sekolahnya itu sudah modern, memiliki CCTV di setiap sudutnya. Senyum merekah terpatri di wajah Jessica.

"Ah, lo kira lo bisa kabur dari gue penjahat berandalan." Jessica bergumam. Semangat sudah membara di dalam dirinya.

Tetapi semangat itu hancur lebur, saat tubuhnya terasa pegal. Dia sudah terlalu capek untuk berkelahi nantinya dengan penjahat itu.

Jessica menghela napas panjang, "Oke penjahat, gue kasih lo waktu sehari buat hidup tenang. Tapi gue pastiin lo bakal mati besok," gumamnya lalu masuk ke dalam mobilnya. Melajukan mobilnya dengan perlahan, tidak mau menambah luka pada adiknya itu.

***

Hai...
Gimana? Buat yang udah baca pasti heran kenapa ceritanya beda. Yap, aku revisi besar-besaran sekitar 90%. Yang sama cuma pemeran doang, selebihnya berubah.

Semoga suka

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lovely BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang