Part 1

1.3K 25 4
                                    

Saya memang buta banyak hal, tapi saya tidak buta rasa. Itulah kenapa 2 tahun belajar di SMA tepatnya waktu saya kelas XI.IPA.1 telah membuat saya mulai mengenal dunia baru kaum remaja "Cinta" Duhai indahnya kata yang satu ini.

Seperti umumnya remaja di kota besar, saya juga terperangkap dalam kenaifan gaya hidup kawula muda. Saya sadar betul, bahwa setiap nafas di media massa, setiap detak jantung kehidupan kawula muda modern terutama di kota metropolitan seperti ini. Termasuk dalam mencoba mengenali cinta, lalu terjebak dalam jerat-jeratnya yang menyiksa. Menyiksa, tapi banyak di antara kami yang memandangnya begitu indah dan mempesona.

Kalau ada cowok yang layak membongkar hati saya, lalu menghiasinya dengan kerinduan terhadapnya. Cowok itu pasti Rian dan memang dialah orangnya. Kawan, jangan salahkan saya, bila saya menyimpan rasa terhadapnya ia memang luar biasa!!!

Semula saya memandangnya hanya sebagai cowok biasa, kebiasannya duduk-duduk di depan kelas sambil memegang gitar 'setau saya sih'. Tapi sayangnya dia dulu selangkah dari saya yaitu kelas XII. Ia berwajah biasa, tapi kesan "baby face" kental di wajahnya. Kulitnya hitam manis seperti dari jauh kelihatan wajahnya bercahaya. Selain pintar bermain gitar dia juga hebat bermain sepak bola. Begitulah saya memandangnya ketika itu. Cara berbicaranya. Cara bergaulnya. Cara ia berinteraksi dengan lawan jenisnya. Cara ia bersikap di hadapan guru-guru yang mengajarnya, ke semuanya bagi saya begitu santun. Ia berbeda betul dengan kebanyakan remaja laki-laki di sekolah saya. Tak ada kebinalan,tak ada sikap liar, dan tak ada sikap dan perbuatan yang mencoreng moreng kesucian dirinya seperti yang banyak terlihat pada umumnya remaja modern yang terbius budaya import.

Meski berpenampilan modern, gaya hidup Rian tergolong lumayan untuk ukuran remaja di waktu itu. Ia cowok yang tergolong sedikit cerdas, lugu dan biasa-biasa saja menurut saya. Tapi justru itu yang membuatnya tampak beda di mata saya. Karena itu pula ternyata diam-diam rasa suka terhadapnya menyelip ke dada saya. Rasa suka itu lambat laun mulai menjajah kebebasan saya. Saya mulai menyukainya lebih dari sekedar teman biasa, tapi sebagai cowok yang punya tempat khusus di dalam hati saya. Entahlah, apa kosa kata yang cocok untuk menyebut perasaan saya itu. Bila saya tanyakan kepada Iqbal, maka jawabannya memang sesederhana itu : Itulah cinta, kawan......???

"hati-hati tiya, kamu sudah terserang virus cinta....."

"entahlah...."

"dan hati-hatilah, karena kamu berpotensi untuk frustasi karena cinta...."

"maksudmu....?"

"aku tak melihat rian terkesan sedikit pun pada dirimu. Sementara cara kamu memandangnya sangat mudah di tafsirkan kamu memang menyukainya...."

"Rian itu pendiam.."

"tapi rasa suka sulit untuk di sembunyikan. Bila seorang cewek sudah menyukai cowok, ia lebih payah menyembunyikan perasaannya ketimbang kaum laki-laki...."

Siapa yang peduli? Tohhh saya tak pernah mengundang perasaan apapun ke hati saya. Soal saya mencintainya juga tak pernah menjadi obsesi saya. Rasa itu datang sendiri tanpa saya cari. Lagi pula, tak ada yang aneh bila seorang remaja perempuan menyukai remaja laki-laki atau sebaliknya. Apalagi laki-laki seistimewa Rian.

Rasa suka itu kian hari kian tumbuh tersemai, sudut pandang saya pada Rian mulai beralih seinci demi seinci, dari sekadar memandangnya dan mengagumi kecerdasannya. Dari sekedar mengetahui bahwa Rian adalah laki- laki dengan segala kelebihan di otaknya, hingga menyadari bahwa selain cerdas secara fisik Rian juga cowok yang menjadi idaman para remaja perempuan. "setidaknya menurut saya..."

Begitulah kata ajaib cinta yang telah menjebak saya pada kebingungan rasa tanpa saya sadari. "astagfirullah..." bila saya coba mengingat-ingat apa saja yang telah menjelajahi otak saya di masa itu, sungguh saya ingin melupakannya. Karena di situ terlalu banyak khayalan-khayalan atau lebih menariknya disebut kenaifan-kenaifan asmara yang membuai saya dengan angan-angan menjulang ke langit, padahal kaki saya masih menjejaki bumi betapa naifnya.........

"apa yang kamu lakukan disini, Rian....?"

Rian terkejut melihat saya tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia menyembunyikan sebuah buku kunci gitar tebal ke dalam tas kecil yang tergantung di pundaknya. Padahal saya tau betul, bahwa itu adalah kamus kunci gitar atau akord gitar andalan Rian dalam bermain gitar.

"ngapain, kamu kemarii...?"

"lhoo.. kamu sendiri ngapain juga...?"

"aku cuma mau 'nyepi' aja..."

"aku juga..."

"kalau gitu, cari aja tempat yang lain, kenapa kamu kemari?? Lagi pula, disini sepi....!!" Kata Rian. Okay!!! Saya bilang.

Saya beranjak meninggalkan Rian. Tujuan saya ke situ memang hanya ingin melihat dan meyapanya. Tak lebih dari itu. Hanya berbicara, hati saya sudah puas. Itulah bius asmara Kawannnn,,,, betapa menyebalkannya. Karena baru itulah pertama kali saya berbicara dengan Rian. Sebelumnya kami hanya bisa bersapa-sapa ringan di lingkungan sekolah, saat jam istirahat, atau saat pulang sekolah. Itulah obrolan yang mampu saya bangun dengan Rian, untuk memuaskan dorongan hati saya. Dan memang hanya itu yang mampu saya lakukan.

Apa yang di ucapkan oleh Anisa, ternyata nyaris 100% benar. Meski saya awalnya hanya berbangga dengan idealisme saya soal cinta, bahwa cinta itu adalah hak dan saya pun berhak memilikinya. Tak ada keharusan cinta itu gayung bersambut. Setelah saya perhatikan lama-lama, perih juga hati saya bila memikirkan kenyataan bahwa Rian memang tak pernah memandang saya lebih dari teman biasa.

Sungguh sesak di dada saya, bila ia yang saya pandang jauh melebihi laki-laki manapun di dunia ini, ternyata memandang saya tak lebih dari perempuan biasa, seperti umumnya siswa perempuan di sekolah kami. Bahkan bila saya sedikit lebih teliti. Sesungguhnya ia tak pernah menyikapi saya dengan baik , seperti sikapnya terhadap setiap teman-teman di sekolah kami. Bahkan bisa dikatakan malah selalu ada aura kebencian yang terpancar dari sorot matanya, setiap kali memandang saya.

Memikirkan realitas itu, mau tak mau hati saya mulai menciut. Saya mulai kehilangan kepercayaan terhadap idealisme saya sendiri soal cinta. Ungkapan cinta tak harus memiliki bagi saya bahkan omong kosong saja. Ternyata bertepuk sebelah tangan itu. Sakitnya bukan main. Perih....!!!

Konsentrasi saya mulai meredup, sayangnya itu terjadi di saat akhir semester genap di kelas XI.IPA. Kali ini asmara remaja yang lazim di kenal sebagai cinta monyetlah yang menyergap jiwa saya. Mengurung sebagian besar perhatian saya hanya pada soal-soal remeh yang terkait dengan laki-laki yang saya anggap lugu. Jelas-jelas rasa suka saya terhadap laki laki ini memenjarakan hati dan otak saya.

Memori otak saya nyaris 100% tersedot pada sosok laki-laki ini. Nyaris setiap waktu saya memikirkannya, membayangkan wajahnya, dan berangan-angan untuk bisa dekat dengannya. Itulah akhirnya yang membuat konsentrasi saya pada pelajaran-pelajaran di sekolah menurun drastis. Sebagai akibatnya pada ujian akhir semester genap saya terdepak ke posisi 15 dengan jumlah siswa sekelas 30 orang. Cukup menyedihkan.....

........ (Bersambung)



Diam Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang