Part 4

120 5 0
                                    

Sebuah kabar mengejutkan sampai ke telinga saya. Ketika 5 bulan saya duduk di kelas XII.IPA.1. Ternyata Rian sudah mempunyai perempuan idaman. Wow pacar? Kenapa memang? Apa pula urusannya dengan saya?

Rian bukan siapa-siapa saya. Saya sadar itu, tapi mendengar ia berpacaran dengan perempuan itu, tak pelak, ada sesuatu yang menggores dinding dada saya. Perihh,, apa pula yang terjadi dengan diri saya??

Saya tak tau tiba-tiba saja pintu kebahagiaan yang baru saja terkuak lamat-lamat dalam jiwa saya, seolah-olah mulai tertutup tiba-tiba. Atau setidaknya, ada kabut tebal yang menghalangi pandangan mata saya melihat segala keindahan di balik pintu tersebut. Penyebabnya jelas sekali bahwa memori indah masa-masa di kelas XI.IPA.1 kembali mengusik jiwa saya. Kenapaaa?? Kenapa itu justru terjadi pada saat pendidikan SMA saya akan berakhir semua itu terjadi begitu saja??? Aahhh Entahlah,,,,

Hari jadi mereka begitu menyenangkan bagi mereka. Apalah daya saya yang hanya seorang penggemar rahasianya? Bagi saya hari jadi itu sangat berdarah-darah. Dan saya tau, tak seharusnya saya bersedih dengan sesuatu yang jelas-jelas menjadi kebahagiaan orang lain. Tidak sepantasnya saya menyesali kemalangan saya, gagal menjadi seorang perempuan yang berarti di hidupnya selain ibunya. Karena saya sadar saya bukan siapa-siapa baginya dan jelas-jelas saya di pandang tak layak menjadi sosok perempuan yang berarti bagi hidupnya. Saya gagal mengelola hati saya. Setan berpesta dengan kegagalan saya .

Mau tak mau saya memang harus mengakui bahwa selama ini saya hanya menjadi korban asmara. Berkali-kali hati saya terbukti lemah dan inilah pertama kalinya saya merasakan sejenis rasa yang kerap disebut sebut orang (rapuh). Sungguh malang nasib saya , nasib yang sangat menjatuhkan semangat saya dalam belajar ketika saya akan UN. Rian yang saya harapkan dan memang lebih layak menjadi calon imam dalam kehidupan saya.

Pagi itu, saya membaca buku tulisan dari ulama terkenal abad pertengahan hijriah. Di buku itu tertulis sebuah nasihat. Kening saya berkerut, saya mencoba menyelami nasihat itu dalam-dalam, tapi masih saja ada kabut yang menghalanginya untuk mampu menyelami makna tersebut. Buram. Saya sering mendengarkan nasihat tentang itu.

Berbulan-bulan, kondisi saya semakin tak menentu, pelajaran di sekolah saya kacau, sehingga guru dan teman-teman saya kerap menegur saya. Di rumah, keindahan-keindahan keluarga saya juga mulai meredup, saya mulai cemas. Tapi saya begitu lunglai menghadapi perubahan perasaan saya yang menjadi liar, tanpa mampu saya redam lagi.

(Bersambung)....

Diam Diam SukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang