Prolog

387 17 2
                                    


Menyeramkan. Hanya kata itu yang terpikirkan dalam benakku. Rumah dua lantai yang tidak terurus. Tidak terlalu besar memang, tapi cukup besar untuk ditinggali oleh keluarga kecil kami. Beberapa bagian cat temboknya yang kusam mulai terkelupas di sana sini. Rumput liar di taman depan rumah pun tumbuh dengan subur, pertanda sudah lama tidak ada yang mengurus. Hanya balkon kamar atas yang membuatku lega, kamar yang nantinya akan aku tempati.

"Al, ayo, masuk! Sebentar lagi malam, udara mulai dingin," Papa mengingatkan, tangannya menjinjing koper besar dan sebuah ransel di punggungnya. Mama mengambil sebuah koper yang lebih kecil dari bagasi mobil, wajahnya masih ditekuk karena keinginannya untuk tinggal di hotel sementara rumah ini direnovasi tidak dipenuhi. Papa memang tidak suka menghambur-hamburkan uang, apalagi disaat bisnisnya baru akan dimulai di kota ini.

"Ssttt... Apa kau pindahan baru di rumah ini?" sebuah suara berbisik tepat di telingaku, membuat bulu kudukku meremang. Secepat kilat aku berbalik dan mendapati seorang gadis cilik berusia kira-kira duabelas tahunan sedang menatapku tajam.

"Siapa kau?" tanyaku terkejut.

"Apa kau tahu kalau di rumah itu ada hantu yang suka memakan anak kecil sepertimu?" gadis kecil itu balik bertanya.

Apa? Hantu? Glek. Mati aku!

Gadis kecil itu tertawa melihatku ketakutan. Buru-buru kupasang wajah pemberaniku di hadapannya.

"Aku tidak takut," jawabku berani, atau pura-pura berani tepatnya. "Lagipula, aku sudah bukan anak kecil lagi. Besok aku sudah masuk SMP, tahu!"

"Baguslah, kalau begitu. Aku hanya mengingatkan saja. Menurut mitos, anak kecil yang akan pindah ke rumah ini harus berputar sepuluh kali sebelum masuk rumah. Untuk menghindari hal-hal sial atau bahaya. Yah, itu sih kalau kau percaya padaku. Kalau tidak juga tidak apa-apa," gadis kecil itu mengangkat bahunya enteng. "Sebaiknya aku masuk. Rumahku di sebelah. Kalau tengah malam nanti ada sesuatu, jangan salahkan aku."

Gadis kecil itu setengah berlari menuju rumahnya, mulutnya bersenandung kecil dengan riang.

"Tunggu!" teriakku gugup. "Apa yang kau katakan itu benar?"

"Tentu saja," jawabnya mantap, seulas senyum menghiasi bibir mungilnya.

"Oke, terimakasih sudah mengingatkan. Namaku Aldi."

"Nailul Authari," sahutnya singkat.

"Sampai besok, Nay."

Gadis kecil itu mengerjap. "Orang-orang biasa memanggilku Tari, tapi kurasa kau boleh memanggilku Nay kalau kau mau. Itu bagus juga," ucapnya sambil berbalik dan masuk ke rumahnya.

Aku memandang Nay sampai ia menghilang dibalik pintu dan ragu-ragu, aku masih berdiri di depan garasi. Tanganku terkepal. Aku mulai memutar tubuhku sambil menghitung sampai sepuluh dalam hati.

Pandanganku masih berputar begitu hitungan selesai, sedikit terhuyung, tubuhku menabrak pohon jambu yang tumbuh di halaman rumah baruku.

Aku memejamkan mata dan telingaku tersentak begitu mendengar tawa histeris seorang wanita. Aku langsung bangkit, masih berpegangan pada pohon dengan sebelah tangan agar tidak terhuyung kembali.

Gadis kecil itu di sana, di halaman rumahnya yang hanya dipisahkan oleh rumpun bunga-bungaan setinggi satu meter. Dia tertawa sambil memegangi perutnya, sesekali terdengar kata 'dasar bodoh' dan 'penakut' dari mulutnya.

"Jadi ... Kau menipuku?" tanyaku polos, meskipun aku sangat ingin menjambak rambut panjangnya sampai botak.

"Welcome to the jungle, Aladin," ejeknya, ia menghapus airmata dari sudut matanya, geli.

Aku menggeram. Wajahku pasti semerah tomat busuk sekarang. Bisa-bisanya aku dikerjai oleh seorang gadis yang usianya tidak lebih dariku? Dasar nenek sihir!

_oOo_



SewinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang