Bab 6

49 6 0
                                    


Mobil Julian sudah berlalu dari gerbang rumah Tari. Gerimis masih turun perlahan, tapi gadis itu masih berdiri memandanginya sampai sedan hitam itu menghilang di tikungan. Seperti seorang puteri yang melepas kepergian sang pangeran ke medan perang. Si Panjul memang sudah seperti pangeran bagi Nay, dengusku dalam hati.

"Al," panggil Tari ketika motorku melewati gerbang rumahnya.

Aku tidak menoleh. Hanya mendorong motorku memasuki garasi dalam diam. Mobil Papa sudah bertengger di sana, motor ninja milik Ardi juga. Keluargaku sedang berkumpul sekarang. Hebat!

Seperti yang sudah aku perkirakan. Mama, Papa, dan Ardi sedang berkumpul di meja makan. Aku berjalan terus ke kamar dengan pura-pura tidak melihat semua orang, tapi sepertinya usahaku gagal. Mama memanggilku dan memaksa untuk makan malam bersama. Jaket yang kupakai terasa lembab, jadi aku melepasnya. Kaus dan celanaku bahkan hampir kering, saking lamanya aku berputar-putar di jalanan.

"Kamu dari mana saja, Al?" tanya Mama, nadanya biasa meskipun aku tahu beliau cemas.

"Aku hanya mau berolahraga sedikit, Ma." Bukan sedikit, tapi super duper banyak, malah. Mengingat itu, badanku yang kedinginan jadi terasa sakit lagi.

"Olahraga apa?" tanya Papa heran.

"Fitness, Pa."

"Sama siapa? Pakai pelatih juga?" Papa memicingkan mata melihatku yang kepayahan.

Terpaksa aku jelaskan semuanya pada Papa, percuma juga menyembunyikan sesuatu dari keluargaku. Mereka akan berusaha mengorek semuanya sampai dapat. Aku tidak heran kalau dulu Mama sempat menjadi reporter sebelum menikah dengan Papa.

"Lain kali, kamu harus bilang sama pelatih kamu kalau kamu pemula. Mereka akan menyesuaikan sistem latihan pemula dan yang sudah biasa. Tubuh kamu belum kuat menerima semua latihan sekaligus," nasihat Papa bijak.

Aku hanya mengangguk pelan, membenarkan semuanya dalam hati. Aku memang terlalu bersemangat pada awalnya. Tapi sekarang tidak, setelah aku merasa kalau semua tulangku rontok satu per satu dari engselnya.

"Habiskan makananmu, Al. Mandi air hangat lalu istirahat," ucap Mama lembut, tidak ingin memperpanjang ceramah Papa, dan aku bersyukur karenanya. Mama memang paling pengertian sedunia.

Aku segera menghabiskan makananku meskipun rasanya pahit. Biasanya masakan Mama selalu enak, mungkin hatiku yang sedang pahit jadi berimbas pada makanan.

"Kak, kalau lelah, jangan dipaksakan." Ardi berbisik di sampingku, matanya lekat memandang piringnya yang hampir kosong.

Dia bicara tentang olahraga, apa tentang hatiku?dalam hati aku bertanya-tanya. Perkataan Ardi kadang cenderung ambigu.

Begitu sampai di kamar, aku langsung ambruk. Dengan susah payah aku merangkak ke ranjang dan merebahkan diri di kasurku yang nyaman. Seolah semua rasa sakit fisik dan kecewa yang kualami datang bertubi-tubi secara sekaligus.

Sebuah pukulan lemah terdengar dari kaca jendela kamarku. Sekali, dua kali, dan seterusnya sampai tidak terhitung. Aku tahu pasti apa dan siapa yang menyebabkan suara itu, tapi untuk saat ini, aku memilih mengabaikannya. Entah sudah berapa bola kertas yang dilemparkan Nay ke jendelaku dan berakhir jatuh ke tanah atau kalau beruntung, terdampar di balkon kamarku yang sempit.

Aku juga tidak peduli pada bajuku yang setengah kering dan nasihat Mama untuk mandi air hangat. Hanya hari ini saja, aku ingin mengistirahatkan otakku sejenak sebelum kembali memulai kekacauan esok hari. Memukul kepala si Panjul dengan brokoli, mungkin? Dengan pemikiran seperti itu, aku mematikan lampu dan bola-bola kertas itu tidak lagi terdengar.

***

Sudah jam berapa ini? Berapa lama aku tertidur? Aku mengerang ketika mencoba untuk bangun. Seluruh sendi tubuhku rasanya memberontak untuk digerakkan. Belum lagi kepalaku yang berdentam seperti dipukul-pukul palu raksasa. Akhirnya aku pasrah dan kembali berbaring. Pikiranku menerawang, baru kemarin aku berpura-pura sakit di depan Nay, dan sekarang kepalaku benar-benar sakit. Mungkin ini karma untukku.

Maafkan aku ya, Tuhan ... aku gak akan pura-pura sakit lagi, deh. Janji.

Mataku melirik daun jendela yang terbuka. Sinar matahari berwarna jingga yang menyejukkan. Entah itu sinar matahari pagi atau sore, aku tidak yakin dan tidak ingin memikirkannya saat ini. Pandanganku terpaku pada tempat sampah yang penuh oleh bola-bola kertas yang dilemparkan Nay semalam. Apakah Mama yang sudah membereskannya?

Pintu terbuka. Kupikir aku akan melihat Mama atau Ardi, tapi gadis itu yang masuk dengan nampan berisi mangkuk dan segelas air putih. Langkahnya berhenti ketika melihatku. Matanya yang jernih langsung berkaca-kaca. Ia meletakkan nampan di nakas dengan terburu-buru, dalam sekejap ia sudah melemparkan tubuhnya ke dadaku dan menangis di sana.

"Kamu jahat! Kenapa kamu nyuekin aku semalam? Kenapa pake sakit segala, sih? Ngerepotin orang aja, tahu!" Nay memukul-mukul lenganku pelan. Aku berusaha untuk tidak mengerang atau meringis karena pukulannya. Aku tahu kalau gadis itu sangat mengkhawatirkanku.

"Maafin aku, Nay," ucapku parau.

Nay masih sesenggukan dalam pelukanku selama beberapa saat. Lalu ia mengelap ingusnya dengan kaus yang kupakai, yang baru aku sadari kalau ternyata bajuku yang semalam sudah diganti. Dia memang jorok, tapi aku tidak akan protes. Karena aku menyayangi Nay apa adanya.

"Janji, lain kali nggak akan nyuekin aku?" Nay mengangkat jari kelingkingnya ke hadapanku.

"Aku janji." Tanganku masih terasa linu, tapi akhirnya kuturuti juga permintaannya untuk menautkan jari kelingking kami. "Kamu mau maafin aku, 'kan?"

Nay mengangguk. "Karena kamu lagi sakit, jadi aku maafin," katanya ketus, meskipun aku tahu kalau dia bercanda.

"Makasih ya, Nay. Berarti kalau lain kali aku bikin kamu kesel lagi, aku tinggal sakit aja lagi. Pasti nanti kamu langsung maafin aku. Iya, 'kan?" balasku.

"Ish, jangan pernah berpikir buat sakit lagi!" Nay mengeplak pahaku di balik selimut sampai aku mengaduh kesakitan. Dia berjalan ke arah nakas dan mengambil nampan yang tadi dia bawa. Memberiku minum dan menyuapi sup yang masih hangat.

"Ini kamu yang masak?" Rasanya lain dari masakan Mama, tapi enak juga. Nay hanya mengangguk dengan wajah merona. "Rasanya enak. Aku ingin kamu memasak untukku setiap hari sampai aku tua nanti."

"Suamiku bisa cemburu kalau sampai tua nanti kita masih seperti ini. Bisa-bisa aku digantung juga sama istrimu nanti kalo kita sama-sama udah nikah, tapi masih suap-suapan kayak gini."

Nay tidak tahu kalau kata-katanya sudah mematikan harapan yang sempat timbul karena perlakuannya padaku tadi. Dia begitu mengkhawatirkanku, kupikir tangisannya tadi karena dia mulai menyadari perasaannya padaku. Ternyata ... Aku harus kecewa untuk kesekian kalinya.

Benarkah semua itu hanya perlakuan sebagai teman? Hatiku terus bertanya-tanya.

 TBC

SewinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang