Bab 1

154 13 1
                                    


"Aladiiinnn, bangun!!! Udah jam sepuluh, tahu!" ketukan yang lebih tepat disebut gedoran di depan pintu kamarku sekaligus suara cempreng yang sekarang sedang berteriak-teriak dengan penuh semangat sudah menjadi alarm alami buatku. Si nenek lampir itu sudah datang rupanya. Dengan malas aku menyibakkan selimut sampai ke dada dan mengucek mataku.

Eh, jam berapa tadi katanya? Jam sepuluh? Sial! Aku ada kuliah satu jam lagi. Dengan bergegas aku turun dari tempat tidur dan tanpa sengaja menginjak bagian ujung selimut sebelum aku sepenuhnya keluar sehingga tak ayal lagi, tubuhku terjerembab ke lantai dengan bagian wajah yang mendarat duluan dan menimbulkan bunyi 'gubrak' yang cukup keras.

"Aduuuhhh, wajahku yang mulus pasti bonyok, deh!" gumamku sambil mengusap-usap dagu yang terasa perih.

Bersamaan dengan itu, pintu kamar yang memang tidak pernah aku kunci terbuka dan gadis yang dari tadi menggedor-gedor pintu langsung tertawa terbahak-bahak. Dia bahkan sampai memegangi perutnya saking kerasnya tertawa. Semoga dia beneran sakit perut karena menertawaiku. Eh, tapi jangan deh, kasian. Ck! Aku memang terlalu baik, padahal dia yang sudah membuatku seperti ini.

"Kamu jatoh ya, Al? Duh, sampe baret-baret gitu. Ckck, kasiaannn ...." Dia pura-pura perhatian padaku setelah tawanya mereda. Sahabat macam apa itu?

Aku tidak menanggapi ucapannya dan dengan setengah berlari masuk ke kamar mandi. Mandi sekedarnya lalu menggosok gigi dan tidak lupa bercermin untuk melihat separah apa lukaku. Cuma baret sedikit, tidak parah ternyata. Aku masih tetap ganteng, hehehe ...

Begitu aku keluar, gadis itu masih di sana. Sedang melihat poster-poster Band luar negeri yang terpasang di dinding seolah-olah baru pertama kali melihatnya. Hari ini dia memakai kemeja biru muda panjang yang digulung sampai siku, seperti kebiasaannya. Jeans biru tua dan rambutnya yang selalu terikat tanpa sedikitpun polesan make up di wajahnya. Paling hanya taburan bedak bayi dan cologne yang dia pakai, karena aromanya tercium seperti bayi, sangat menenangkan.

"Hei, aku mau ganti baju, nih! Udah telat," tegurku ketus.

"Ya udah, ganti baju aja. Aku gak nafsu kok buat ngeliatin," jawabnya tanpa menoleh.

"Oke, jangan ngintip, ya," desahku gemas, percuma saja mengusirnya keluar kalau dia tidak mau. Dia sangat keras kepala. Perlahan aku membuka handuk yang menutupi tubuh bagian bawahku, tentu saja aku tidak telanjang. Aku memakai celana pendek di dalamnya, jadi tidak masalah kalau dilihat oleh gadis itu.

Begitu handukku teronggok di lantai, dia berbalik. Dan seketika seperti ada suara terompet sangkakala di dalam kamar tidurku.

"Arrrrggghhh!!! Aladin mesuumm!!!" jeritnya histeris sambil setengah menutup mukanya dengan tangan dan setengahnya lagi mengintip ke arahku, lalu dia segera berlari keluar kamar dan menuruni tangga sambil berteriak-teriak. "Om, Tante, Aladin mesumnya kumat!"

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan gadis itu. Suatu keajaiban aku bisa berteman dengannya selama delapan tahun ini. Setelah ini, pasti aku akan di interogasi oleh Mama dan Papa, juga Ardi. Ish, dasar nenek lampir!

Aku segera berpakaian dengan asal dan turun ke bawah. Mama dan Papa sudah menunggu di ruang tamu. Mama sedang menonton televisi, acara masak-masak favoritnya dan Papa masih asyik dengan koran paginya yang baru disentuh. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya Papa baru pulang jogging, seperti kebiasaannya kalau weekend seperti ini. Dan nenek lampir itu sedang bergelayut di lengan Mama dengan manja sambil sesekali tertawa cekikikan bersama khas cewek, anehnya Mama tidak pernah protes dengan kelakuannya, malah terkesan senang. Mungkin karena Mama tidak punya anak perempuan, makanya dia senang dengan kelakuan ajaib gadis itu.

SewinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang