Bab 3

100 11 0
                                    


"Aladiiinnn!!!" jerit seseorang tepat di telingaku, membuatku tergagap. Siapa lagi kalau bukan si nenek sihir jahil. Refleks aku segera bangun dan karena aku lupa kalau sedang ketiduran di motor, akibatnya bokongku mendarat dengan telak di lantai semen parkiran yang keras.

"Aduuhh ... Bisa gak sih kamu ngebangunin orang dengan cara yang wajar?" Aku meringis, bokongku rasanya seperti terbakar saking kerasnya aku jatuh.

"Siapa suruh pake ketiduran segala. Di motor, lagi! Salah sendiri kalo jatoh," elaknya tanpa rasa bersalah sediki pun.

"Abisnya kamu lama banget, sih!" gerutuku pelan.

"Aku cuma dua jam. Hellooo ... dua jam gitu, loh! Namanya juga masak, mana ada yang cepet. Kalo mau cepet tuh ya masak aja mie instan."

"Iya, iya, bawel. Yuk, pulang!" Aku tidak mau mendengarkan ocehannya di saat bokongku masih berdenyut seperti sekarang ini. Sepertinya aku harus ke dokter spesialis, nih! Ternyata dekat dengan gadis itu bisa berbahaya bagi kesehatanku.

"Eh, kamu tahu gak? Tadi ada guru masak baru, lho! Dia itu chef dari hotel kelas atas di Italia. Keren, kan? Orangnya juga masih muda. Ganteng, lagi. Dengar-dengar sih dia anaknya pemilik tempat kursus ini, jadi dia nyempetin ngajar di sini. Dia udah punya pacar belum ya? Eh, kayaknya udah deh, masa orang sekeren dia belum punya cewek. Mungkin juga udah punya isteri. Tapi, tadi pas perkenalan dia bilang single. Single belum tentu belum punya pacar, kan? Arrgghh...!" Aku bisa merasakan dia memukul-mukul helm yang dia pakai dengan gemas.

"Berisik!" ujarku ketus, dia langsung diam dan cemberut. Itu lebih baik daripada membicarakan pria lain di depanku. "Pegangan kalo gak mau jatoh." Tangannya langsung melingkar ke pinggangku dengan erat. Better!

-

"Sebenarnya kamu mau masak apa sih, Nay?" Aku mulai kesal. Yang dilakukan gadis itu sejak tadi adalah memelototi semua sayuran yang ada di fresh market di depannya, sesekali mengangkatnya, dilihat lagi, lalu kembali disimpan di tempat semula. Apa dia sedang mencoba mengajak bicara semua sayuran itu?

"Bisa diam gak sih, Al? Kamu dari tadi nanya melulu, aku kan jadi gak konsen milih sayurannya," kata Tari geram.

Dia sih enak fokus sama sayuran, lah, aku kan malu diliatin ibu-ibu yang belanja sambil bisik-bisik, kadang senyum-senyum. Dikiranya aku lagi nganter belanja isterinya kali, atau mungkin aja mereka kasihan sama aku karena punya isteri yang agak-agak seperti dia. Ish, nasibku. Belum kawin aja udah jadi bahan gosip ibu-ibu.

"Memangnya kamu nyari sayuran yang kayak gimana? Nyari sayuran kok dipelototin gitu. Emang kalo dipelototin mereka bakalan bisa ngomong?" ujarku asal.

Pletak! Alhasil kepalaku dipukul dengan terong ungu yang besarnya segede alaihim gambreng. Suara cekikikan dari ibu-ibu di belakangku sukses membuat mukaku memerah karena malu. Malang benar aku hari ini. Sabar, Al, sabar ...

"Kamu ini sembarangan aja. Mana ada sayuran bisa ngomong. Milih sayuran itu harus yang segar, yang bagus, yang nggak ada cacatnya, biar rasa masakannya juga enak."

"Terus sekarang udah ketemu sayurannya?"

"Belum. Semuanya kelihatan sama aja, jadi bingung milihnya. Mending masak pasta aja, deh! Yuk, kita ke sana." Sambil berkata begitu, dia berjalan lebih dulu ke bagian pasta tanpa rasa bersalah sedikit pun sudah membuatku menunggu selama satu jam dan menjadi bahan omongan ibu-ibu di sana. Argghh... Dasar nenek lampir!

"Aladiinnn ... Kamu lama banget, sih, bawa trolinya!" teriak Tari sambil melambai-lambaikan pasta di tangannya. "Kamu mau yang mana? Yang ini atau yang ini? Dua-duanya aja, ya." Dia mengangkat dua kotak pasta yang berbeda sambil berjalan mundur menghadapku. Terkadang dia memang menyebalkan, tapi entah kenapa aku tidak pernah bisa benar-benar marah padanya. Dia makhluk spesies unik yang sangat langka yang pernah kutemui.

SewinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang