Alan mengacak rambutnya frustasi. Dia tau Cinta menyukainya sejak lama dan dia hanya butuh teman cerita. Karena sering menerima penolakan.. Apa Ali sesakit itu? Dia berdiri ingin pulang tapi ada yang memukul wajahnya. Bukk...
"Heh! Apa maksud lho hah?" Alan berdiri sambil menyeka darah segar yang keluar dari sudut bibirnya.
Robi, lelaki yang telah memukul Alan itu tersenyum sinis, "Lho itu dibiarin ngelunjak tau nggak? Cinta itu cinta sama lho, gue terima itu. Tapi, lho malah bikin dia nangis."
Alan menatap Robi sambil tersenyum remeh, "Jadi, ini gara-gara cewek? Siapa yang nyuruh dia suka sama gue? Nggak ada."
Bukkk.. Robi menghajar Alan tanpa henti. Dia tidak peduli kalaupun terkena tuduhan pembunuhan karena dia memang ingin membunuh lelaki tidak tau diri ini. "Stop!!! Alan!!!" Cinta menahan tangan Robi yang masih memukuli Alan.
"Rob, udah!"
Robi berdiri tegak, "Itu pembalasan gue karena sikap acuh dan sok lho."
***
Ali memasuki rumah sambil tersenyum kecil, teringat akan kejadian di halte tadi. Dia ingin tertawa tapi takut ayahnya marah.
"Li, nanti kita bisa demam." Prilly menghentikan langkah Ali dan membuat lelaki itu menoleh.
"Lho bawel banget." jawab Ali singkat. Dia segera memasuki sebuah rumah kecil dan sederhana.
Tokk.. Tokk..
"Loh, gue kira nggak bakal lho ambil Li." Dalas keluar sambil tersenyum manis.
"Gue butuh. Nyonya besar bawel." Dalas tertawa disusul Ali sedangkan Prilly hanya menatap kedua lelaki itu bingung. Apa yang diambil?
"Gue taruh di sebelah noh. Gue baru aja ambil dari rumah tuan besar."
"Gimana keadaan bokap lho?"
"Udah baikan. Hari ini kata mama gue udah kerja, syukur deh."
"Oke. Gue pamit dulu Man. Thanks." Dalas mengangguk disertai senyuman Prilly. Mereka berdua segera berjalan ke samping rumah dan melihat sesuatu yang membuat Prilly melongo.
"I.. ini punya kamu Li?" Prilly menatap Ali takjub.
"Biasa aja." Ali segera membukakan pintu untuk Prilly. Sebuah mobil sport warna putih hasil jerih payah Ali mengikuti berbagai lomba menembak.
Senyum Ali menghilang begitu melihat seorang gadis sedang bingung di dapurnya. Siapa dia?
"Lho mau maling ya?" Gadis itu terlonjak kaget dan segera membalikkan badan.
"Emm.. gue cari P3K."
"Di atas lho itu apa sih? Lagian, siapa yang sakit? Ohh.. siapa lho juga?" tanya Ali dingin.
"Gue Cinta temennya Alan. Alan yang sakit, dia habis digebukin sama musuhnya di sekolah."
Ali emngangguk sambil berfikir, apa mungkin Alan punya musuh?
"Ali?" Ali menoleh ke belakang dan menemukan Prilly sedang berdiri sambil membawa dua cangkir coklat panas. Gadis itu memakai celana hitam jeans dan switter coklat bergambar boneka beruang.
"Hai?" sapa Cinta kikuk.
"Hai." balas Prilly sambil tersenyum.
"Lho udah disini ngapain? Udah makan?" Ali berjalan menuju kamarnya dengan Prlly di belakangnya bersama Cinta.
"Udah. Kamu siapa?" Prilly menatap Cinta.
"CInta. Temennya Alan, lho Prilly?" Prilly mengangguk sambil tersenyum lembut.
"Itu obat buat Alan? Dia kenapa?" ada raut cemas di wajah Prilly dan membuat Cinta menghela nafas. "Dia dihajar sama musuhnya."
Prilly mengangguk dan masuk ke sebuah kamar. Bisa dipastikan kalau itu kamar Ali. Prilly duduk di atas ranjang Ali sambil memperhatikan si pemilik kamar berjalan dan duduk di sampingnya.
"Om sama Tante kemana Li?"
"Apa menurut lho gue tau?" Ali mengambil satu cangkir coklat panas dari tangan Prilly.
"Siapa tau kan?"
Ali berjalan keluar kamar bersama Prilly. Mereka berdua berdiri di depan kamar Alan yang tidak terkunci dan memandang Alan yang tengah meringis kesakitan.
"Ehh.. Hai Pril?" sapa Alan sambil tersenyum.
"Kamu nggak papa?"
"Iya. Baru pulang?"
"Udah tau nanya. Kayak nggak ada tema lain aja." Ali berkata sambil berjalan menuju sofa di lantai dua itu.
"Aku kesana dulu. Bye Alan." Prilly ikut duduk di samping Ali yang sibuk dengan hpnya.
"Balas SMS fans kamu ya?" Ali menoleh sambil mengernyitksn dahinya bingung, darimana Prilly tau kalau banyak fans yang mengiriminya pesan.
"Maksud lho? Emang gue ada waktu buat gitu?"
"Li?"
"Hemm."
"Kalau kamu punya pacar bilang aku ya?" Ali menatap Prilly, apa maksud gadis ini?
"Emang kenapa?"
"Aku bakal balik lagi ke luar negeri. Itu artinya aku udah nggak punya harapan lagikan?"
"Lho ngomong apaan sih." Ali membuang muka, kalau Prilly pergi lalu siapa yang akan menjadi tempatnya berkeluh kesah?
"Aku serius. Fans kamukan banyak. Pasti cantik-cantik semua."
Ali memegang kedua bahu Prilly erat, dia harus mengatakan ini. "Gimana gue bisa pacaran sama cewek lain kalau lho kebahagiaan gue?"
Tess.. airmata Prilly mulai jatuh. Ali menyayanginya, dia segera memeluk Ali erat. Dia bahagia sekarang.
***
Cinta menngobati luka Alan dengan sabar dan telaten. Dia ikut meringis saat Alan meringis kesakitan.
"Gue rasa emang gue harus ngelepasin Prilly."
Cinta membuang muka, "Gue nggak siap buat jadi tempat curhat lho soal Prilly. Gue nggak bisa, sorry."
Alan tersenyum sambil mengarahkan pandangannya menuju mata Cinta. Dia tersentak, sejak kapan debaran jantungnya mulai cepat dari biasanya?
"Gue nggak curhat Ta, gue ngomong aja. So, setelah ini lho."
Cinta menoleh, "Maksudnya?"
"Ya iya, yang bakal gue ceritain ke orang lain itu lho bukan Prilly." Cinta menunduk, apa maksud Alan?
"Ayo keluar." Alan berjalan keluar kamar disusul Cinta. Dia melihat Prilly sedang menggoda Ali habis-habisan.
"Ayo.. Senyum.. senyum.. senyumm..." Prilly tertawa sambil menoel pipi Ali. Sedangkan lelaki itu hanya membuang muka.
"Ali nggak bakal senyum kalau lho gituin Pril. Cium pipinya kek." Prilly dan Ali menoleh bersamaan.
"Emang harus dicium?" tanya Prilly polos. Alan dan Cinta tertawa sedangkan Ali hanya mencubit pipi chubby Prilly.
*****
Sedikit saja.. votenya dong atau komentar buat cerita ini... Makasih yang udah mau baca :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Bahagiaku
RomancePrilly merebahkan dirinya di kasur yang sudah sepuluh tahun ia tinggalkan ke Amerika. Dia rindu bermain dengan Alan. Tetangga samping rumahnya yang dulu sering bermain dengan dia. Tapi, yang sebenarnya Prilly rindukan adalah kembaran Alan. Dari keci...