LIMA

211 1 0
                                    

Kini ku tahu namanya Sani. Bermata bundar berona abu-abu, serta dihiasi barisan bulu-bulu halus yang melentis panjang seperti kepak kupu-kupu. Pesona mata itu secara tidak langsung mengingatkan ku akan lenny. Ia mirip benar. Wajahnya juga berpostor ala bulan penuh memperawa ciri-ciri orang jawa. Juga seperti lenny yang begitu utuh cantik berparas jawa. Hidungnya meninggi separa mancung. Ulas bibir tertera manis delima. Rambutnya yang berombak ikal kerinting disisir belahan tepi. Kulitnya berona kuning gading yang halus serta bertubuh kecil rumpun melayu. Tatkala pertama sekali mata mengimbas, pasti tidak percaya yang dia sudah berusia dua belas tahun. Riak wajahnya lugu sekali. Bahkan begitu keanak-anakan.

Sani tidak banyak berbicara. Di sepanjang perjalanan kami untuk kembali ke kota, bibirnya terkatup erat. Langsung tak bersuara. Hanya sesekali terdengar dengusan kecilnya yang seakan berkeluh panjang sembari matanya menancap tegar ke hadapan dada aspal.

"Sani! Mengapa tiba-tiba berubah hati hendak ikut makcik ya?"

Aku menggetus pertanyaan. Kuakui dirundung rasa pelik dengan keputusan mendadak anak kecil itu untuk ikut serta dengan ku. Setelah saban hari aku lelah memujuknya sebelum ini, dan dia tak terkutik pun peduli. Selebihnya aku ingin mengesanya berbual dan terlalu ingin mendengar suaranya.

"Sani mimpikan mama malam tadi. Mama suruh sani ikut makcik. Mama kata makcik akan jaga sani dengan baik. Seperti mama jaga sani dulu!"

Sani menjawab sepatah-sepatah. Nada suaranya lugu benar. Masih tampak bergementar serta takut-takut. Matanya juga berkerdip-kerdip janggal. Sejenak pandanganku melirik ke arahnya. Ku perhatikan kedua belah tangannya erat memeluk sebuah anak patung daripada perca kain yang sudah terlalu lusuh. Aku sedar. Semenjak pertemuan pertama kami, anak patung itu sering bersamanya saban waktu. Tak pernah berpisah walau sedetik pun. Tak semena-mena. rasa aneh menghunjam benak.

"Itu patung siapa, sani? Siapa yang beri?" soalku lagi yang sarat beriak ingin tahu. Tanganku spontan mengusap ubun-ubun kepala sani mesra. Sengaja ku perlakukan begitu, agar dia tidak terlalu gugup terhadapku. Selain cuba menjalin sebuah hubungan yang akrab dengannya.

"Mama yang beri! Mama kata ini seperti adik sani. Mama kata sani mesti jaga ia dengan baik," jawab sani petah.

Tampak dia sudah semakin lancar berbual. Kegugupannya seolah-olah beransur lenyap diterpa waktu. Sejenak, terimbas kata-kata pembantu rumah lenny yang baru kutinggalkan tadi. Menurutnya, anak patung itu dibuat lenny ketika hamil serta sudah ada pada sani sejak dilahirkan. Tak pernah berenggang. Bahkan sering dijadikan peneman. Dahiku berkerut kehairanan. Tak pernah dibasuh, maka tak berkuman kah? Tak mudaratkah jika dipeluk begitu. Aku menggeleng lagi seraya beristiqhar lagi beberapa kali.

"sani harus panggil makcik apa ya?"

"Panggil saja, ummi!"

Kami tiba di rumah milikku di bandar johor bahru ketika kirmizi senja mulai mengorak jingga di penjuru langit. Rumah yang ku perolehi dari hasil titik peluh semasa lima tahun membina jati diri di Belanda. Rumah yang dibeli berlandas usul lenny setelah ku pinta agar ia kelak menjadi penempatan untukku setelah pulang ke tanahair.

Sememangnya aku tak tega untuk menginap kembali di rumah ayah. Aku tak ingin dihantui bayangan rasa bersalah yang mampu merencat perkembangan hidupku. Tambahan pula, rasa janggal untuk bertembung kembali dengan sanak-saudara yang kukira agak sinis memandangku di awal kepulangan dulu. Mereka masih menyimpan jijik pada anak durhaka ini. Biarpun agak pilu gara-gara terpaksa berpisah dengan kubur ayah, namun aku sedar yang hidup harus diteruskan.

Rumah teres setingkat berlatar mewah ini betul-betul mempapar tema kesukaan ku. Ternyata lenny bijak memilih. Sebuah laman yang luas terbentang di hias indah sosok kiri. Cukup besar untuk ditempatkan sebuah kolam renang. Seluruh cat muka dindingnya di seri dengan rona biru laut kesukaanku yang menenangkan minda. Bahkan ruang dalamnya bersemi perabot kayu jati yang utuh memukau pandangan.

ANAK UMMIWhere stories live. Discover now