CHAPTER 1

59 3 0
                                    

Suara langkah kaki terdengar samar, aku tahu itu pasti ayah. Ayah pulang dan aku tertidur sambil memeluk erat foto ibu, aku pasti ketiduran setelah menangisi foto ibuku, jika ayah melihatku sekarang dia pasti akan memukulku, atau lebih dari itu. Secepat mungin aku bergesas menuju lemari pakaian, bagian belakang lemari itu rapuh sehingga membentuk lubang di sela kayunya, disitulah tempat paling aman untuk menyimpan foto ibuku.

Ayah menyuruhku membuang segala benda yang berhubungan dengan ibuku atau segala apapun yang mengingatkanku pada ibu. Tapi sekeras apapun usaha ayah untuk menyingkirkan bayang-bayang ibu aku tetap tidak bisa, sumpah demi apapun aku tak kan sanggup melupakan ibu. Ibu yang bahkan tak pernah menyakitiku, ibu yang selalu menyayangiku lebih dari apapun, ibu yang selalu membacakan cerita sebelum aku terlelap hingga ibu yang dulu selalu membela ku saat ayah ingin memukulku. Aku tak tahu mengapa ayah begitu membenci ibu sekarang, aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada keluargaku. aku ingin bertanya pada seseorang, tapi siapa? Aku tak memiliki siapa-siapa sekarang kecuali ayah, ayah yang selalu berkata bahwa dia akan selalu melindungiku dan menjagaku. Sampai sekarang aku tidak mengerti apa maksud dari perkataan ayah bahwa dia akan melindungiku dan menjagaku, kenyataanya ayah lebih banyak mengunakan kekerasan daripada kepala dingin dalam menghadapi semuanya, termasuk diriku.

"Jean apa kau di dalam?"

Suara ayah membuatku kaget, aku tak tahu apa yang akan dilakukanya padaku nanti, dia pulang kerja dan dia lelah, sedikit ada sesuatu yang salah, dia pasti akan marah. Tiga hari belakangan ayah menjadi lebih temperamen dari biasanya, mungkin suasana di tempat ayah bekerja sedang buruk, ya, pasti buruk.

"ya, aku disini"

aku menjawab dengan suara yang sedikit serak, kurasa itu efek menangis yang terlalu lama.

"keluarlah, aku membawa sesuatu untukmu"

Sesuatu.. tidak biasanya ayah membawakanku sesuatu, aku keluar dari kamar memasuki ruang tamu dengan rasa takut dan penasaran.

"kemari, aku membawakanmu hadiah"

Aku melihat ayah duduk di kursi ruang tamu sambil tersenyum dan membawa kotak kecil berwarna cokelat tua dengan desain ukiran khas Cultivian: satu satunya hal yang ku sukai dari Cultivian, karya sederhana namun sangat artistik. Ayah memanggilku, tangan kanannya dijulurkan seperti hendak memberitahukan apa yang sedang dipegangnya. Yang benar saja, ayah membawa perhiasan, untukku. Ayah membuka kotak itu dan mengambil isi di dalamnya

"ini kalung Cultivian, kau berumur 16 tahun sekarang, kau juga akan dikarantina minggu depan."

Kali ini ayah berbicara dengan nada yang berbeda dari biasanya, dia sedikit lebih lembut dari biasanya dan tidak menunjukkan wajah seramnya sebagai seorang ketua. Dia tampak jauh lebih tenang, baru kali ini aku merasa nyaman berada di samping ayah setelah dua tahun lalu ibu menghilang dan ayah tampak benci padanya.

"Emm..kau bahkan mengingat nya" aku tersenyum padanya

"akan kupasangkan untukmu, anggap ini hadiah dariku – juga Cultivian"

ayah memelukku. Kali ini aku benar-benar merasa dia telah berubah, dia tidak jahat, aku merasa nyaman.

"minggu depan kau akan dikarantina selama sebulan. Disana terdapat beberapa tahap sebelum kau benar-benar resmi menjadi seorang Cultivian"

aku mengangguk, aku bertingkah seolah aku siap menghadapi semua hal tentang karantina. Aku tidak ingin terlihat lemah dihadapan ayahku. Dia seorang ketua Cultivian, orang-orang pasti akan menganggapku kuat karna ayahku juga begitu. Tapi kenyataanya berkebalikan. Aku sekarang lemah. Pikiranku dibayang-bayangi perkelahian, kekerasan, dan hal-hal menyakitkan lainya yang selama ini aku peroleh dari ayahku. Aku membayangkan semua yang ayahku lakukan adalah cerminan para pejabat Cultivian, begitu pula para petugas karantina. Jauh di lubuk hatiku, sebenarnya aku ingin mati saja daripada harus menyakiti orang-orang tidak bersalah disekelilingku.

Kalung yang diberikan ayah ini resmi menjadi miliku sekarang, aku memandangi liontin kalung ini yang tidak lain dan tidak bukan adalah lambang Cultivian. Lingkaran hitam dengan didalamnya terdapat sepasang tangan sedang mengendalikan api. Api – itu pasti simbol iblis. Paham Cultivian mengatakan bahwa iblis bisa dikendalikan. Iblis bisa menuruti semua keinginan seorang Cultivian apabila separuh jiwanya bisa menyatu dengan jiwa iblis. Namun tidak semua Cultivian bisa melakukanya. Aku penasaran, apakah kepercayaan kaum Cultivian itu benar, apa jiwa manusia dan jiwa iblis benar-benar bisa bersatu sedangkan jenis mereka sangatlah berbeda.

Pertanyaan itu masih menggantung dan akan terus menggantung sampai kapanpun. Aku tidak mungkin bertanya pada ayah, dia akan menganggapku meragukan kepercayaan Cultivian. Walau memang sepertinya aku benar ragu. Semua penduduk desa Cultivian yang telah melewati masa karantina melakukan ritual khusus. Ritual khas Cultivian yang tujuanya adalah mengendalikan iblis. Aku belum pernah tau bagaimana ritualnya dan dimana tepatnya itu dilakukan. Para orang tua disini tidak akan memberi tahu sesuatu tentang ritual kepada anak mereka sebelum mereka berusia 16 tahun dan mereka melewati masa karantina. Anak yang berusia dibawah 16 tahun dianggap masih lemah jiwanya untuk dipersatukan dengan jiwa iblis. Minggu depan aku memasuki karantina, itu artinya waktuku dirumah hanya tinggal beberapa hari lagi sebelum aku kembali lagi kerumah sebagai seorang Cultivian resmi.

Matahari menyapaku lembut dari celah-celah jendela, suara burung berkicauan merdu seakan meneriakan kata selamat pagi kepada penduduk Cultivian. Hari ini cuaca sangat cerah, langit biru dan udara yang segar membuatku lupa sejenak bahwa hari menuju karantina semakin dekat. Matahari terbit dan tenggelam membawaku lebih dekat dengan saat-saat menebarkan itu. Aku belum pernah dikarantina dan aku tak pernah tau bagaimana rasanya di karantina. Menjadi anak seorang ketua tak menjamin bahwa kau akan merasa aman dan jauh dari ketakutan di karantina, Ayah sama sekali tidak pernah memberitahuku bagaimana dan apa yang terjadi selama seseorang dikarantina. Aku pernah mendengar sesekali di sekolah ketika segerombolan siswi tingkat tiga berbicara tentang karantina. Ketat, penuh peraturan dan tak ada toleransi. Memikirkanya hanya semakin membuatku menciut, aku tak seharusnya merasa seperti ini. Mengapa aku begitu lemah, apa karena aku terlalu sering menerima pukulan ayah? Apa karena rasa sakitnya? Aku harus kuat, aku anak seorang ketua. Aku mengucapkan kalimat itu tiga kali sebelum aku memutuskan keluar kamar untuk mengambil segelas air minum.

Aku melihat ayah pergi meninggalkan rumah, mungkin dia pergi menemui rekan kerjanya. Tidak biasanya ayah terlihat buru-buru di hari libur. Mungkin ada sesuatu yang buruk.

Suasana rumah kembali sepi seperti hari-hari biasanya, hanya aku dan tiga pelayanku Bibi Rosie, Tuan James, dan Diana yang usianya 1 tahun diatasku, kadang kami bermain bersama seperti seorang teman namun lagi-lagi ayah membatasi hubungan antara kami karena kedudukan kami sangatlah berbeda. Sebenarnya aku ingin berada bersama ayah walau beberapa jam sebelum aku dikirim ke karantina. Karantina berlangsung selama satu bulan. Hanya satu bulan. Tapi aku merasa sesuatu yang aneh, aku merasa seperti akan terpisah darinya, selamanya. 

Aku tidak merasa diriku sedih sepenuhnya, tentang terpisah dari ayah. Sepertiga dari diriku merasa lega karena jika aku terpisah dari ayah, maka aku tidak akan terus hidup dibawah tekanan ayah. Bahkan aku sudah menjalani karantina. Sepanjang yang kuamati, rata-rata orang yang telah menjalani karantina menjadi lebih dewasa, lebih kuat dan lebih mandiri. Aku pasti bisa hidup dengan baik tanpanya.

Suara kicauan burungmenyadarkanku dari hayalan terpisah dari ayah. Terpisah – bagaimana bisa? Apayang membuatku terpisah darinya? Dan mengapa aku berpikiran bahwa aku akanterpisah dari ayah. Oh ya ampun, sepertinya aku mulai berlebihan. Akumemutuskan untuk jalan-jalan di pinggir danau kecil yang berada tidak jauh dibelakang rumahku. Dulu, ibu sering membawaku kesini. Sekedar melepas kejenuhan,karena jelas dari kecil hanya ibulah satu-satunya temanku. Aku merasa bahagiaketika ibu mulai menyanyikan sebuah lagu, menceritakan cerita lucu, semuakenangan indah tentang ibu, teringat kembali. Aku merindukanya, kemana diasebenarnya, bagaimana kabarnya, apa dia masih hidup. Tenggorokanku terasa sakitmenahan tangis setiap kali teringat kenangan Ibu. Ayah bilang bahwa Ibu sudahtak sayang lagi pada kami, Ibu kabur dan meningalkan kami tanpa pesan. Ibumenelantarkan kami dan kabur mencari kehidupan baru. Itu yang ayah katakanselama ini, tapi mana mungkin, rasanya berat mempercayai semua perkataan ayahtentang ibu. Tidak mungkin ibu meninggalkan kami tanpa sebab, pasti adasesuatu. Mungkin ayah berbohong tentang kepergian ibu, mungkin ayah merekayasacerita, tapi suatu saat aku akan mencari tahu sebab apa yang membuat ibu kaburdari rumah.    

AFFILIUS (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang