Prolog Bayangan Kematian

6.5K 196 16
                                    

DIA tak pernah bermaksud membuat kacau.

Dia hanya ingin membantu anak-anak itu. Tentu saja bukannya tanpa imbalan. Dia kan punya banyak kebutuhan, dan anak-anak tajir itu lebih dari sekadar mampu memenuhi kebutuhannya. Mereka cukup menadahkan tangan kepada orangtua mereka, sementara dia harus bekerja keras untuk gaji yang tak seberapa.

Dunia ini tidak adil, tapi dia tidak bodoh. Dia bisa mencurangi ketidakadilan itu.

Selama bertahun-tahun, semua berjalan lancar. Tetapi sesuatu yang tak terduga terjadi. Paket yang dia terima tidak sesuai. Anak-anak itu rugi besar. Kebanyakan anak memilih tutup mulut dan menerima nasib karena takut. Tetapi ada satu yang tidak sudi menerima kekalahan.

Dan sekarang anak itu menuntut pertanggungjawabannya.

Enak saja! Uang itu haknya. Seandainya paket yang dia berikan tak sesuai harapan, itu bukan urusannya. Dia sudah mengerjakan bagiannya dengan baik. Seharusnya anak itu menuntut pertanggungjawaban kepada orang lain yang mengurus isi paket itu.

Pekerjaannya memang mengharuskan dia berurusan dengan anak-anak bodoh. Dan hal itu menguji kesabarannya. Di sisi lain, hal tersebut merupakan keuntungan. Dia jauh lebih cerdik sehingga bisa menipu anak-anak itu dengan mudah. Itu juga yang menyebabkan mereka selalu menuruti semua aturan yang dia ciptakan. Dan tak pernah ada yang berani melawan meski paket-paket yang dia berikan tak selalu cocok.

Dia bahkan menjadikan ruang musik tak terpakai itu sebagai tempat pertemuan. Tempat yang paling cocok untuk bertransaksi gelap di sekolah. Gosipnya, ruangan itu berhantu sehingga tak seorang pun mau berada di sekitar sana. Satpam dan penjaga sekolah pun tak pernah berpatroli di tempat yang terpisah dengan bangunan utama sekolah itu. Oleh karena itu, mereka selalu mengutus satu orang sebagai perwakilan. Hal itu menguntungkan karena akan sedikit orang yang mengetahui identitasnya. Sejauh ini dia memang selalu berhasil merahasiakan identitasnya. Meskipun ada kasak-kusuk, reputasinya terlalu baik untuk dituduh macam-macam. Yang perlu dia kendalikan hanya wakil anak-anak itu. Dengan sedikit iming-iming disertai ancaman, semua akan menurut.

Tetapi perwakilan tahun ini rupanya berani bikin ulah. Berbeda dengan perwakilan tahun-tahun sebelumnya, anak baru ini sulit ditekan. Dia tak pernah menyangka anak itu punya nyali melakukannya. Anak-anak lain yang hobi berkelahi pun tak pernah berani mencari masalah dengannya, tapi anak itu malah berani mengancamnya! Kalau dia tidak mengembalikan uang mereka, anak itu akan membocorkan identitasnya supaya anak-anak lain memukulinya, lalu melaporkannya kepada Kepala Sekolah dan media setempat. Anak berotak udang itu benar-benar punya nyali besar untuk mengancamnya!

Tapi malam ini dia akan menyelesaikan semuanya.

Seperti biasa, dia mengajak anak itu bertemu di sekolah, tepatnya di ruang musik berhantu itu. Anak itu datang dengan taksi karena terlalu riskan kalau ada yang melihat mobil pribadi datang ke sekolah saat malam. Dia sendiri sudah mengecek sekeliling ruang musik. Tak ada penjaga sekolah, satpam, bahkan tikus yang berkeliaran di sana.

Mungkin karena hari ini hujan deras.

Benar-benar sempurna.

Tetapi rasa puasnya bergantikan kejengkelan saat anak yang baru saja menerobos hujan itu tidak menyapanya dengan hormat, melainkan langsung mencecarnya di depan ruang musik.

"Uangnya udah ada?"

Dasar anak tengik kurang ajar. "Sudah saya bilang, uangnya nggak ada."

"Kalau begitu, kenapa saya dipanggil ke sini?" hardik anak tak tahu diri itu.

Dia harus menekan rasa berang yang mulai membakar hatinya. "Saya punya penawaran lain yang cukup menarik, cuma butuh tambahan biaya lagi..."

"Nggak akan ada tambahan biaya lagi!" Bukannya menerima usulannya, anak itu malah menunjuk-nunjuk dada lawan bicaranya. "Dengar ya! Kesabaran kami semua udah habis. Kalau uang kami nggak dibalikin, besok semuanya bakal terbongkar! Saya bakal laporkan semua—"

"Oke, oke. Sebenarnya, saya sudah menyiapkan uangnya. Uangnya ada di dalam sana."

"Jadi uangnya udah ada?" Wajah anak itu langsung berubah. "Kenapa nggak ngomong dari tadi? Hampir aja saya..."

Dia tidak berniat mendengarkan ocehan anak sialan itu lagi. "Ayo, kita masuk."

Anak itu baru saja membuka pintu sementara dia mengeluarkan tali tambang yang sudah disiapkan untuk "sekadar berjaga-jaga". Dan tiba-tiba saja dia sudah mencekik anak itu sekuat tenaga.

Petir menyambar keras saat anak itu meronta-ronta. Tapi anak itu sama sekali tidak bertenaga. Mana mungkin anak yang sering memakai obat-obatan terlarang bisa menang melawannya? Gerakan anak itu makin lama makin pelan, dan akhirnya berhenti.

Dia segera mengecek napas dan denyut nadi di lehernya.

Anak itu sudah mati.

Oh, sial.

Tidak, ini kecelakaan. Anak itu yang terus-menerus mendesaknya sampai dia tak punya pilihan. Anak itu yang memaksanya berbuat seperti itu. Anak itu mati karena kesalahannya sendiri. Dan dia tak bersalah sama sekali!

Tapi orang lain takkan berpikir begitu. Orang-orang selalu membela orang mati, tidak peduli orang itu pantas mati atau tidak. Dia akan disalahkan, diserahkan kepada polisi, dipenjarakan untuk alasan yang salah...

Oke, jangan panik. Anak itu cuma biang onar yang jarang pulang ke rumah. Kalau ditangani dengan benar, orang-orang takkan curiga kenapa anak itu tak pernah muncul lagi. Orang-orang hanya akan mengira anak nakal itu kabur dari rumah, seperti biasa.

Sekarang dia harus berpikir cepat. Yang jelas, dia beruntung sudah memastikan tidak ada saksi mata. Kehati-hatiannya dalam segala hal terbukti berguna. Kini dia hanya perlu menyingkirkan mayat anak itu beserta semua bukti.

Dia menarik mayat tersebut keluar dari ruang musik. Awalnya semuanya lancar, sampai akhirnya mereka tiba di pekarangan sekolah. Kepala anak itu mulai berdarah-darah karena terantuk batu-batuan di jalan. Untunglah, beberapa saat kemudian, darah itu lenyap disingkirkan oleh air hujan.

Bahkan langit pun membantunya. Ini berarti Tuhan mendukung rencananya. Seperti pikirannya tadi, dia memang tak bersalah.

Dia memasukkan mayat anak itu ke bagasi mobil dan mengernyit saat melihat darah merembes ke karpet. Tak apa-apa, dia akan membersihkannya nanti. Sekarang dia harus menyingkirkan mayat itu secepatnya. Dia harus tetap tenang, jangan sampai panik dan melanggar lampu lalu lintas. Jangan sampai polisi mencegat kendaraannya.

Nah, mayat itu sudah disingkirkan. Tak ada seorang pun bisa menduga tempat itu. Sekarang dia harus kembali ke sekolah dan memastikan tak ada satu pun bukti yang tertinggal.

Dia menyusuri jalan yang tadi ditempuhnya, memeriksa dengan saksama. Hujan benar-benar berhasil membersihkan semua jejaknya. Dia memasuki ruang musik dan memandang ke sekeliling. Bagus, semuanya tampak seperti sedia kala...

Tunggu dulu. Kenapa pintu itu terbuka?

Dia yakin pintu itu tertutup sebelumnya. Kenapa tiba-tiba pintu itu bisa terbuka?

Dia berusaha membuka pintu lebar-lebar, tapi sesuatu menyangkut di belakang pintu. Dia menunduk di belakang pintu dan memeriksa benda yang menyangkut di situ.

Sebuah penjepit rambut berwarna kuning.

Kurang ajar. Tidak salah lagi, ada orang yang menyaksikan perbuatannya! Orang yang sama berbahaya dengan anak yang sudah mati itu...

Tidak. Orang itu berbahaya. Anak itu hanya membocorkan kegiatan ilegalnya, tapi saksi mata kali ini telah menyaksikan pembunuhan yang dia lakukan. Tentu saja hukumannya akan jauh lebih berat daripada transaksi ilegal.

Artinya, pemilik penjepit rambut itu saksi mata yang sangat berbahaya. Dia harus segera mencarinya, menemukannya, dan membungkamkannya.

Dengan segala cara. 


Johan SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang