3

42.1K 2.9K 33
                                    


Angin berhembus kencang, langit tampak mendung memberi tanda jika hujan akan segera mencambuk bumi. Para pejalan kaki disisi jalan mulai mempercepat langkah kaki mereka, beberapa saling berdesakan memasuki Restouran berlantai dua di sisi jalan, suasana hangat oleh suara tawa dan senyuman manusia manusia yang menikmati secangkir kopi atau setidaknya baru memulai makan siang di sela kesibukan tiada henti menyambut mereka.

"Liandra!"

"Wait!"
Suara lembut itu menyahut, ketukan langkah kakinya yang terburu buru beradu dengan lantai menarik beberapa pengunjung yang diam diam tersenyum saat melewatinya.

"Aliandra!"

"Yes, Chef!"
Suara itu kembali menyahut, kali ini memekik. Menyimpan nampan ditangannya sembarangan hingga menimbulkan keributan di dapur, lagi lagi menarik senyuman dan gelengan kepala melihat tingkah gadis yang seolah tidak asing lagi dimata mereka.

"Aliandra Melvada!"

"I'm Here!"
Liandra menjerit, nyaris terjungkal saat menghentikan langkahnya secara tiba tiba dengan sepatu hak tingginya. Ia membungkuk, mencoba mengatur nafasnya yang tak beraturan.

"Apa kau sudah bosan bekerja, Lindra?"
Liandra mengangkat wajahnya, menunjukkan mata bulat segelap malam yang dihiasi bulu mata lentik yang indah. Bibir merah meronanya tampak terbuka karna berlari dan mendengar ucapan pemilik Restoran baru saja.

"Tidak, aku senang bekerja disini."
Sahutnya, menegakkan bahunya dan menatap pria tampan yang sebentar lagi berkepala tiga itu kembali menggeleng saat mengamati rok coklat selutut yang membungkus kaki jenjangnya, kemeja putih yang berantakan dan gulungan rambut tak beraturan serta anak anak rambut yang menjalar liar disisi wajahnya.

"Kau mangatakan itu ribuan kali, tapi kau masih saja membuat masalah."

"Aku?"
Liandra mengerjap bingung, Pria tampan dengan seragam khasnya itu berkacak pinggang dengan tatapan galak yang sayangnya tidak pernah berpengaruh pada gadis yang masih menunjukkan tatapan bingungnya.

"Ya, kau pikir siapa lagi?"

"Tapi aku tidak menyentuh lantai dua, aku bekerja dengan baik di lantai satu."

"Lalu, menurutmu siapa yang mengganggu tamuku semalam?"
Liandra menahan nafasnya, menatap tidak percaya jika Reyhan tahu apa yang terjadi semalam.

"Kau tahu, Chef?"

"Tentu saja, kau sebaiknya lebih berhati hati. Kalau saja aku tidak mengenalmu aku mungkin sudah memintamu berhenti hari ini."

"Ya, tuhan. Aku benar benar tidak tahu, Chef."
Liandra mulai berdiri tidak tenang ditempatnya, Reyhan menghela nafasnya pelan.

"Kau sebaiknya berhenti berkeliaran di Restoran pada malam hari."

"Aku tidak akan melakukannya jika tidak melupakan sesuatu."
Gumam Liandra dengan pelan, Reyhan menjentikkan jarinya dihadapan Liandra. Membarikan tatapan serius penuh peringatan.

"Pastikan untuk tidak melupakan apapun mulai saat ini."

"Aku akan mengingatnya."

"Bagus, kau harusnya tahu. Setelah mengacaukan lantai dua bulan lalu, kau sudah tidak mungkin punya kesempatan. Mengerti?"

"Aku mengeti tapi boleh aku bertanya?"
Ucap Liandra ragu, Reyhan menghela nafasnya kasar. Mungkin mulai kehilangan kesabarannya menghadapi kegilaan Liandra.

"Apa lagi?"

"Apa dia adikmu? Kau bahkan membiarkannya mengambil anggur."

"Aku akan sangat senang jika dia adikku, sekarang kembali bekerja dan jangan membuat masalah."

"O-key."
Liandra mengangguk lamat lamat, keningnya masih mengkerut dalam saat Reyhan meninggalkannya setelah melemparkan peringatan tanpa menyadari suasana dapur yang menyambutnya tampak memanas karna bisikan yang menyatu dengan kebisingan dapur.

"Liandra."

"Liandra."

"Ya-Akh!"
Lindra memekik, menatap punggung tegap yang perlahan berbalik kearahnya. Sepasang mata kelabu itu menyambutnya, dengan geraman rendah menyesatkan yang membuat Lindra terkesiap dan mundur selangkah membentur pinggiran meja hingga gulungan rambutnya jatuh dengan indah dipunggungnya.

Lindra menahan nafasnya, saat kaki panjang itu melangkah penuh perhitungan. Alis tegasnya terangkat, tatapan membunuh dan rahang kokoh yang membuat gadis manapun akan menjerit ingin menyentuhnya mengeras saat mengamati Lindra yang menegang ditempatnya dengan bibir terbuka.

Keheningan menegangkan itu semakin mengerikan saat kedua kakinya terhenti, menyilangkan kedua lengan liat dibalik punggungnya sebelum menunduk tepat di sisi wajah Lindra yang merasakan rongga dadanya dipenuhi aroma memabukkan.

Lemon.

Aroma lemon ini.

"Apa kau sedang mengujiku?"
Suara berat kasar itu menggelitik indra pendengaran Lindra, ada intimidasi disuaranya. Sesuatu yang mampu membuat siapapun bertekuk lutut dibawah kakinya hanya dengan satu tarikan nafas, Lindra sekalipun.

"Liandra?"

Brengsek.

Bagaimana bisa Liandra melewatkan pesona pria ini?

**

Reyhan masih dengan baju kebanggannya itu baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa, pria yang beberapa tahun terakhir ini sibuk dengan dapur di Restorannya sementara pria pemilik gedung megah disebrang mejanya tampak tenang dengan majalah olahraga dipangkuannya.

Panas seperti biasa bahkan hanya dengan kaus abu abu yang membalut tubuh tegapnnya dan jam tangan senilai jutaan dollar yang seharusnya mampu membuat siapapun tidak akan memilih membuat masalah dengannya.

Jadi, apa sebenarnya isi kepala Liandra?

"Kau memecatnya?"

"Liandra?"

"Menurutmu siapa lagi?"
Reyhan tersenyum kecil saat pria itu akhirnya meletakkan majalah dipangkuannya dan menatapnya dengan tenang.

"Aku belum memecatnya."

"Bukankah dia terlihat seperti sumber masalah? "
Senyuman Reyhan semakin melebar, menatap dengan binar jenaka yang membuat pria dihadapannya berdecak pelan.

"Kau tertarik padanya, Naetra?"
Reyhan menggelengkan kepalanya, melihat pria yang bahkan lebih muda tiga tahun darinya itu tampak keras kepala dibalik tatapan tenangnya seperti biasanya.

"Aku yang harusnya bertanya, apa kau tertarik pada gadis itu? Aku mengenalmu dengan baik, Reyhan."
Tentu saja, siapapun yang mengenal Reyhan jelas akan menanyakan hal yang sama mengingat bagaimana kecintaannya pada sebuah kesempurnaan.

"Tidak juga, Liandra hanya tidak sengaja menolongku saat kecelakaan tahun lalu. Aku ingin memberinya hadiah, tapi gadis itu hanya ingin bekerja disini bahkan dengan upah kecil sekalipun."

"Oh."
Reyhan melemparkan tatapan datarnya saat mendengar sahutan singkat namun terdengar menyebalkan itu.

"Apa kau hanya akan duduk diruanganku dan membuat tekanan darahku terus bertambah?"
Naetra akhirnya menarik sudut bibirnya, tersenyum kecil dan bergegas bangkit.

"Aku akan melihat lihat sebentar."

"Bukankah kau berasal dari kota ini? Kenapa tidak menemui keluargamu alih alih membuat semua pelayanku tergila gila padamu?"
Reyhan mengingat dengan jelas, saat pertama kali ia bertemu dengan Naetra di Prancis dan memintanya menjadikan gedung ini sebuah Restoran.

"Mungkin Nanti."

"Naetra."

"Jangan lupa mengisi kulkasku."

"Hei-"

Benar Benar

**

*

Ada yang masih inget ini ga?

**

Jangan Lupa Vomment
Maaf Typo

Siera.

GOING CRAZY [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang