Tautanmu sampai pada kelelahan hati yang berlari.
Aku tertatih menelusuri lembah hitam.
Hampir tak percaya aku mampu sembuhkan luka dengan secercah cahaya syairmu.
Ungkapan yang satu duanya punya perlainan makna namun tersirat rasa, itu milikmu.
Kenyataannta aku masih lugu menyibakan masa usang untuk mati tenggelam lara.
Angan menyapa, kau bilang harapan.
Hampa saja aku lirik rasa ini tumbuh.
Aku, ya aku hanya mampu membuang serpihannya agar wajar satuan napas kehidupan.
Kawanan cupid bukan pemanah hati yang bertaut.
Umpan balik dinyatakan pasti oleh hati dn takdir.
Rapatan hina menghimpit sejuta bunga yang tumbuh dalam lingkup kering.
Atap hatiku rapuh, namun aku memberinya ruang fitrah.
Sajak perluasannya hanya kami yang mampu terjemahkan.
Arungi hidup dalam keridhoanNya jadi pilihan terbaik di tengah galau yg melanda.
Kawanan rasa yang tercipta kini hanya cukup memupuk cintaku pada Ilahi.
Anugrah yang menyemai ketenangan tanpa harapan yang berlebihan.
Naungannya tetap pada langkah-langkah pemersatu jiwa dalam kitabNya.
Sembilu hati tak mampu menyapa sebuah ketenangan batin.
Elok dirasa saat aku kenali fitrah tanpa alur kesesatan.
Rapuh jadi antipati pada rangkaian bunga yang baru saja tumbuh.
Pola dalam rangka pikir menerangkan jangkauan hati-hati yang sanggup melepas.
Ikatan bukan untuk dijalin pada rentang panjang dikeakraban waktu.
Hanya siksa yang akan menemuinya ketika luka-luka itu tercipta pada cinta fana direntang peradaban.
Alasan apapun tak jadi pilihanku untuk menemuinya bahkan dengan sejuta serpihan yang aku pungut untuk menjelaskan rasa ini.
Newton bahasa gerak mendiamkan aku dalam beku di saat rasa mencuat dengan ritme gerakan ketiga.
Menelungkupkan lembaran pedih, menyemai kepercayaan takdir.
Untukmu sempurna ketika dienmu sempurna.
Selayang sajak, aku hanya menginginkan baik teladan.
Bukan permainan syair di dalam kalbu.
