Picture 3: Coward

69 9 7
                                    

'Apa yang kau benci dari musim gugur?'

Pertanyaan itu selalu kudengar setiap aku berkata bahwa aku tidak suka musim gugur. Padahal, jelas aku menggunakan kata 'tidak suka' bukannya 'benci'. Tapi manusia selalu mendengar apa yang ingin mereka dengar.

Udara musim gugur tidak sedingin musim dingin yang menusuk, jelas juga tidak sepanas musim panas. Daun-daun yang berubah warna, guguran daun maple yang menguning bahkan coklat sudah menjadi ciri khas musim gugur. Dunia seperti berubah, pemandangan seperti terfilter menggunakan sephia sebagai lensanya. Kuning kecoklatan. Indah, bagai film klasik yang biasa diputar di museum-museum seni.

Aku tidak suka dengan awan kelabu yang selalu menggantung di langit sepanjang musim gugur. Atau rintik hujan yang membasahi bumi hampir di setiap harinya. Juga suhu yang tiba-tiba menurun drastis setiap sore menjelang. Kalau ada satu hal yang kusukai dari musim gugur, itu adalah bisa melihatmu dari jendela kantorku.

Kau yang selalu lupa membawa payungmu di suramnya musim gugur. Bukan sekali dua kali, tapi selalu. Satu hari kau akan berdiri di depan pintu gedung, dengan punggung merapat ke dinding, menghisap batangan rokok yang merusak parumu sambil menunggu hujan reda. Lain hari kau akan menaikkan tudung jaketmu dan berlari menerobos buliran air yang menghujam bumi. Keesokannya kau akan menumpang payung temanmu. Tidak pasti, tapi yang jelas aku selalu melihatmu dari balik jendela kantorku sebelum kau melangkah pulang di sepanjang musim gugur.

Toh sampai musim dingin menyapa aku tetap tak berani hanya sekedar menyapamu. Karena aku tahu, satu kata sapaan akan memimpin ke perkataan yang lain. Aku tak pandai bermain kata dengan orang lain. Dan aku takut kehilangan hiburan musim gugurku.

Kau.

Picture the WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang