Chapter 2

3.1K 307 29
                                    

"Serius, lo? Anya move on semudah itu?" Dea menghentikan tulisannya, mendongak, menatap Chia yang sedang meminum jus mangga kesukaannya.

"Ya mana gue tau dia langsung move on atau enggak. Tapi gue liat dia udah senyum-senyum gitu sih." ujar Chia sambil terus menyedot jus mangganya. "PR lo lanjutin dulu, De."

Dea merengut, kembali menulis. "Berisik lo, Chi. Lo juga gak ngasih tau gue ada PR fisika."

"Hp tuh dipake bukan cuma buat nyari quotes galau, De. Masa hp sama yang gunain lebih pinter hpnya sih." komentar Chia cuek.

Dea semakin merengut, kemudian terus menyalin jawaban dari buku fisika Chia. Bel masuk beberapa menit lagi, dan masih ada 7 soal yang belum Dea salin jawabannya. Dia harus ekstra cepat.

Disisi lain, Chia sibuk memainkan hp sambil menyeruput jus mangganya yang tinggal sedikit. Beberapa menit kemudian, ia menghela nafas pelan.

"Eh, De, lo bisa anter gue pulang gak ntar?"

Dea mendongak, menyeringit. "Ciko gak jemput lo, emang?"

Chia menggeleng. "Ciko ada tambahan katanya. Walaupun gue gak yakin dia bakal ikut tambahan. Paling bolos main basket."

Ciko, kakak Chia yang umurnya hanya terpaut 2 tahun. Bisa dibilang, Ciko tipe kakak yang bisa dijadiin temen. Buktinya, Ciko melarang Chia manggil dirinya dengan sebutan "kak", "bang", "aa", "akang", atau sebagainya. Bukan untuk mengurangi rasa hormat, tapi agar lebih terasa akrab.

Hanya saja, semester lalu, nilai Ciko nyaris setara ukuran sepatu. Hal itu membuat Ciko harus ikut tambahan di kampusnya -walaupun dia sering bolos.

"Yah, sayang banget gue gak bisa liat abang lo yang ganteng." ujar Dea.

Chia menoyor kepala Dea pelan. "Sialan, lo. Jadi bisa gak lo anterin gue dulu?"

Dea mengangguk anggukan kepalanya. "Boleh aja sih. Tapi lo tungguin gue latihan, ya. Dan satu lagi, gue mau nebeng makan malem di rumah lo. Kangen sama masakan tante."

"Woooo!" cibir Chia.

OCCHIA

Chia menatap lapangan dengan bosan. Siang ini begitu terik dan Chia 'terpaksa' duduk di pinggir lapangan untuk menunggu Dea yang berlatih paskibra.

Siapa yang suka menunggu? Tidak ada. Apalagi menunggu hingga dua setengah jam. Yang perlu digaris bawahi, Chia menunggu sendirian. Ya, sendirian sambil meminum susu coklat dingin yang ia beli tadi di kantin.

Kasian, keliatan banget dia jomblo.

Tapi demi tumpangan pulang, Chia gak apa apa deh.

"Lumutan gue disini lama-lama." gumam Chia pelan sambil memainkan kaleng berwarna ungu tua.

Chia meneguk susu dalam kaleng tersebut. Chia mengerutkan keningnya, kemudian melihat isi kaleng tersebut.

Kosong.

Selamat menunggu tanpa hiburan, Achia!

OCCHIA

Alvi melempar bola berwarna oranye itu sembarangan, kemudian duduk di bawah ring basket sambil meneguk air mineral.

"Lo gak pulang, Vi?"

Alvi menoleh, kemudian menggeleng. "Males balik gue. Capek denger Avian ngerengek terus."

Bintang -teman Alvi tadi- tertawa kecil, kemudian menepuk pundak Alvi ringan. "Nasib lo jadi anak sulung dan punya adik 12 tahun di bawah lo, Vi."

"Berisik lo ah." ujar Alvi sambil menoyor Bintang pelan, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling lapangan.

Suasana lapangan sehari-hari nyaris tidak ada bedanya. Selalu ramai oleh kegiatan. Seperti saat ini, ketika ekskul basket dan paskibra latihan bersama.

Bukan, Alvi bukan anggota ekskul basket. Dia hanya sering bergabung untuk main sebentar, kemudian pulang. Biasalah, ngabisin waktu karena males pulang ke rumah.

Tunggu, yang di pinggir lapangan itu ...?

Klenteng!

Gadis itu meringis pelan ketika kaleng yang ia lempar tidak sesuai target, justru mengenai pinggir tong sampah dan menimbulkan suara nyaring.

Alvi tersenyum kecil melihat gadis itu akhirnya berdiri dan memungut kalengnya. Kemudian ia duduk lagi sambil bermain ponsel dan sesekali melihat ke arah ekskul paskibra yang sedang latihan.

Dia gadis tadi, kelas XI IPA 5 yang punya mata yang bagus. Entah kenapa, di mata Alvi, mata itu selalu punya daya tarik yang membuatnya ingin melihatnya terus menerus.

"Woy! Liatin apaan gak lo." Bintang mengikuti kemana pandangan Alvi, kemudian menoleh dan mengerutkan keningnya. "Achia?"

"Achia?" tanya Alvi sambil menoleh, dahinya berkerut. "Siapa tuh?"

Bintang terkekeh. "Lo gak tahu siapa Achia, Vi? Lo sekolah disini gak pernah gaul, ya?"

"Jawab pertanyaan gue, Bin. Bukan ngejek gue. Emangnya itu siapa?" tanya Alvi lagi, kesal.

"Cewek yang lo liat itu namanya Achia. Dia terpercaya buat jadi problem solvernya orang-orang." jelas Bintang sambil menyambar botol air mineral dari tangan Alvi.

Dahi Alvi berkerut, semakin bingung. "Kok gue gak pernah liat dia ya? Anak baru emang?"

Bintang menggeleng. "Enggak, tahun lalu gue sekelas sama dia, kok." Bintang melanjutkan meminum airnya. "Kenapa lo? Naksir?"

Alvi sontak menggeleng. "Kenal aja enggak gimana gue bisa naksir."

Bintang terkekeh, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Sementara itu, Alvi kembali melihat Achia duduk sendiri di pinggir lapangan.

Alvi buru-buru mengalihkan pandangannya, sok-sok-an melihat anak anak basket yang sedang berlatih sambil sesekali berkomentar dan mengajak Bintang mengobrol.

Pasalnya, tadi Achia melihatnya. Ya, Alvi tertangkap basah sedang melihat gadis itu. Dan satu fakta yang memang harus Alvi akui adalah,

Matanya memang sangat indah.

OCCHIA

(a/n)

Heyyooo, gimana chapter kali ini? Semoga menghibur ya

Kritik saran komentar sangat dibutuhkan untuk ke depannya biar ceritanya semakin menarik ya Aamiin hw.

Anyway, thankyou!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OcchiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang