Dibawah langit abu-abu dan hujan deras, suara tangis pecah di rumah duka tempat mama Azara berbaring tak bernafas. Azara duduk lesuh disisi ruangan dengan kedua tangannya berkaitan dengan kencang, terus berdoa agar hatinya bisa rela akan kepergian mamanya. Matanya kosong tak bernyawa. Kenyataan yang baru dia ketahui semalam membuat hatinya dihantui rasa benci. Alasan kematian mamanya dan retaknya kekeluargaan di rumahnya. Semua salah perempuan itu.
Azara mengangkat kepalanya untuk menatap sahabatnya yang duduk di sisi lain ruangan.
Khea dengan sabar mengelus pundak mamanya yang kehilangan sahabatnya. Azara memicingkan matanya kearah perempuan itu dan tanpa berpikir dua kali, dia berdiri dan segera menghampiri mereka.
"Tante senangkan?" bisiknya setelah sampai dihadapan perempuan itu. Azara menatap wanita yang sudah melahirkan sahabatnya dengan tidak suka.
"Azara.." Panggil mama Khea dengan lembut, berusaha menjelaskan kesalahpahaman diantara mereka.
"Kalau bukan karena tante, keluarga aku nggak akan begini. Kalau bukan karena tante, mama nggak akan meninggal. Bukan mama yang seharusnya pergi, tapi tante. Tante nggak pantes hidup." Bisik Azara dengan mata menatap rendah wanita itu, sampai sebuah tangan menampar pipi Azara dan berharap dia kembali ke akal sehatnya.
"Cukup za." Sela Khea tidak sabar.
Orang-orang yang datangpun menatap kearah Khea dengan kaget dan tidak suka. Ini acara pemakaman tapi malah ada yang mencoba membuat keributan.
"Ada apa ini?" Tanya papa Azara kaget. "Tolong jaga sikap kamu Azara, ini tempat penghormatan terakhir kita untuk mama. Kalau kamu mau cari ribut jangan disini." Bentak papa Azara kemudian menyeret putri semata wayangnya keluar ruangan.
Azara tertawa miris, lagi-lagi dirinya yang diusir dan bukan wanita itu dan anaknya tapi lagi-lagi dia. Azara tertawa mengejek pada dirinya sendiri dan berlari menjauh dari semua ini. Khea segera keluar menyusul Azara.
"Za! We need to talk!" Teriak Khea ketika Azara terus berlari menjauh. Khea tau, apa yang membuat Azara begitu membenci mamanya dan dirinya. Khea mengerti apa yang diinginkan Azara.
"Nggak ada yang perlu dibicarain! Aku benci kamu! Kalau aja mama kamu nggak ngerebut Daniel dari mamaku. Keluargaku pasti bahagia sekarang!" Balas Azara tidak terima dan terus berlari menjauh.
Salah. Bisik Khea dalam hati. Kalau Daniel -papa Khea menikah dengan Melinda -mama Azara, tidak akan ada dirinya dan Azara. Lagi pula, keluarga mereka baik-baik saja selama ini. Hanya karena Azara tahu fakta gagalnya pertunangan mamanya dengan papa Khea dulu bukan berarti dia bisa menjadikan itu alasan untuk merebut cinta pertama Khea. Tapi itu yang saat ini Azara lakukan.
Tapi semua itu tidak sempat atau mungkin tidak bisa Khea sampaikan. Karena saat ini, dibawah langit abu-abu dan hujan deras, tubuh tinggi dan tegap milik Dave dengan sangat protektif memeluk sahabatnya yang baru kehilangan mama itu. Mata Azara tampak terbelalak karena dipeluk tiba-tiba. Azara berusaha keluar dari dekapan Dave, tapi pelukan Dave malah tampak semakin menguat. Perlahan, Azara berhenti memberontak, mukanya mulai berubah dan air mata mulai jatuh bersama air hujan. Perlahan, suara tangis Azarapun pecah bersama deruh hujan. Perlahan, Azarapun melingkarkan tangannya dipinggang Dave dan menenggelamkan kepalanya di dada Dave.
Ini bukan pertama kalinya Khea menemukan Dave dan Azara seperti ini. Dave selalu ada untuk Azara, baik sengaja ataupun tidak disengaja. Kalau selama ini Khea diam, untuk kali ini dia tidak akan diam. Matanya memancarkan sorot kekecewaan saat Azara membalikan kepalanya dan menatap Khea. Tidak ada sedikitpun hasrat dalam diri Khea untuk memaafkan sahabatnya itu. Sudah cukup Azara egois selama ini.
=======================
Khea baru tiba di rumah dan disambut dengan Dave yang menunggu di depan pagar rumahnya. Dave berdiri dihadapannya dengan baju yang sama dengan yang tadi pagi dia pakai untuk memeluk Azara. Khea menatap laki-laki itu dan berjanji pada dirinya bahwa ini akan menjadi yang terakhir baginya bertemu dengan Dave dan juga Azara. Dia akan mengingat setiap momen ini sebelum akhirnya pergi menjauh dari kebahagian mereka.
Untuk pertama kalinya, Khea tidak ingin memalingkan matanya dari mata coklat milik laki-laki dihadapannya. Kalau dulu dia bahkan tidak bisa membalas tatapan Dave, untuk hari ini tidak. Kalau dulu dia bahkan tidak bisa berbicara dengan jelas dihadapan Dave, kali ini tidak.
Telfon genggamnya tak berhenti menjerit dengan nama sahabatnya terpampang di layarnya. Dengan tidak bersemangat Khea mengangkat telfon genggamnya dan melihat layar itu tanpa simpati sedikitpun. Matanya menatap datar foto dirinya dan Azara yang tersenyum ke arahnya sebelum akhirnya mengangkat telfon dari sahabatnya itu.
Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, Khea diam menunggu suara disebrang sana mengatakan sesuatu. Matanya kembali menatap orang dihadapannya.
"Ya," Panggil Azara pelan. Khea dengan gusar menggigit bibir bawahnya. Menantikan kata-kata selanjutnya dari mulut sahabatnya. Kali ini, Khea tidak tahu apalagi yang akan dikatakan Azara kepadanya. Tapi untuk terakhir kali ini, dia tidak akan mengabulkan apapun yang akan Azara minta.
"Kali ini aja,ya. Biarin sekali ini aja aku egois." Lanjut Azara diujung sana. Dengan begitu, Khea jelas tahu apa yang harus dia sampaikan kepada Dave. Dari dulu Khea tahu kalau Dave belum tentu berakhir dengan dirinya, tapi bukan berarti dia menginginkan Dave untuk berakhir dengan Azara.
"Tapi kamu selalu egois za." Balasnya datar kemudian memutuskan sambungan.
Suara rintik hujan mengisi kekosongan diantara mereka. Tidak ada yang berusaha membuka percakapan sejak Khea memutuskan telfon dari Azara. Khea menghela nafas, kepalanya mulai terasa pening karena kehujanan dan ia ingin segera mandi air hangat, memakai baju tidurnya, dan tidur. Tapi Khea tetap pada pendiriannya dan menunggu sampai Dave memulai apapun yang ingin dia bicarakan dengannya.
"It's not fair ya." Akhirnya Dave memecahkan keheningan diantar mereka. Khea kembali menatap Dave dengan bingung. Tidak adil? Seharusnya dia yang berkata seperti itu. Lagi pula Dave merasa tidak adil dibagian mana? Kata Khea dalam hati dengan sarkastik. "Kalau aku dan dia harus menderita hanya untuk membuat kamu bahagia." Lanjut Dave yang membuat Khea terbelalak kaget.
Dari awal, Khea tahu bahwa Dave sadar akan perasaannya. Tapi bukan ini yang Khea harapkan, selama ini dia tidak pernah memaksa Dave untuk bersamanya, tidak juga melarang Dave untuk bersama Azara. Mereka harus menderita hanya membuatnya bahagia? Apa tidak salah? Tidak ada satupun dari tindakan mereka yang membuat Khea bahagia. Penghianatan sahabatnya sudah terang-terangan diperlihatkan Azara baik di sekolah ataupun diluar sekolah. Sebenarnya, mereka bahkan tidak butuh pendapat Khea lagi untuk memperjelas hubungan mereka.
"Maksud kamu apa?" Tanya Khea sambil memicingkan matanya tidak suka ke arah Dave. Jelas Khea tidak suka, bisa-bisanya mereka memutar semua cerita ini menjadi kesalahan Khea. Padahal jelas-jelas Khea tidak melakukan apapun untuk menghalangi mereka. Khea menelan ludahnya sebelum mendengus tidak percaya.
"We are nothing to begin with, Dave. Jadi kenapa kalian harus menderita karena aku?" Kata Khea dengan tercekat. Bukan, bukan tercekat karena perasaannya. Tapi karena perlahan, mereka berhasil membuat seorang Khea membenci cinta.
Lagi pula, ini semua sudah selesai.
Perasaannya pada Dave.
Persahabatannya dengan Azara.
Dan cerita cintanya.
A/N:
BAB 1 JADI!! AAAAAA! So excited! Jadi ini sih cuman iseng-iseng aku aja, sekalian curhat dan ngayal-ngayal dikitlahh. Rencananya sih cerita ini bakal aku bikin nyesek terus walopun belom tau juga nyesek terusnya gimana. Tapi gimana? Bab 1 nyesek nggak yah? wkwkwk. Makasih yah buat siapapun yang mau meluangkan waktu baca cerita rongsokan ini! HAPPY READING!
KAMU SEDANG MEMBACA
Never Look Back
Romance"Za, kayaknya aku suka Dave." Kataku yakin sambil menatap sahabatnya. Azara yang sedari tadi sibuk membolak-balikan halaman majalah edisi terbarunya dengan segera menatapku tidak percaya. "What? Coba diulang ya? Apa aku nggak salah denger? Kamu suk...