Separuh Jiwa

142 6 1
                                    

Dia, bisa dibilang seorang pengganggu. Mungkin itu menurut sebagian orang, tapi menurutku, dia seorang yang luar biasa yang telah mengubah hidupku selama 27 tahun ini. Kenalkan, namanya Fatma. Wanita berumur 25 tahun yang sering berada di sampingku kala mataku tertutup dan menemaniku kala mataku terbuka. Dengan senyum ramah dan ikhlasnya, membuat senyuman itu selalu terngiang di benakku. Ucapan selamat pagi dan teh susu buatannya menambah kehangatan di pagi hari. Terkadang aku enggan untuk meninggalkannya di rumah, walaupun ada asisten rumah tangga. Namun, hati ini ingin selalu menemani dan membantunya ketika ada hal yang memang sulit ia lakukan sendiri.

Fatma memang bukan gadis sempurna, kaki yang ia miliki hanya satu. Tapi bagiku, Fatma adalah paket super duper komplit yang Tuhan kirim kepadaku. Jarang aku menemukan wanita seperti dia, ramah dan tabah yang suka membuatku jatuh cinta lagi pada Fatma. Awal kisah kami memang tidak semanis sekarang. Dulu sekali, Fatma sering menjadi bahan hinaanku. Ya, hal itu juga yang sering membuatku menyesal telah mencampakkan Fatma yang begitu sabar menghadapiku. Dulu, aku tidak suka ketika mendengar fakta bahwa Fatma telah lebih dulu mencintaiku. Sempat aku menolak pernikahan yang diinginkan oleh kedua orangtuaku, namun apa daya jika mereka yang telah memohon dengan sangat bahwa aku harus menikah dengan wanita ini.

Orangtua Fatma telah lebih dulu meninggalkannya karena sebuah kecelakaan, peristiwa ini juga yang menjadi penyebab hilangnya kaki kiri Fatma. Akhirnya pernikahan pun terlaksana, sebuah pesta kecil-kecilan yang hanya dihadiri oleh para sanak keluarga dan beberapa teman dekatku. Awalnya mereka tak percaya aku menikahi gadis yang notabenenya seorang penyandang cacat. Dengan rasa malu aku hanya bisa tersenyum dan geram dalam hati. Setelah itu berlanjut pada kisah sehari-hari kami dan tak perlu kujelaskan secara rinci tentang bagaimana aku mencampakkan Fatma. Karena itu sama saja membuat goresan luka pada hatiku, maafkan aku Fatma.

"Mas Anggar, sudah pagi!" ringtone kesukaanku ketika pagi hari datang, biasanya mata ini sudah terbuka sebelum panggilan itu memasuki indera pendengaranku. Maklum, aku ingin sekali mendengar suara merdunya di pagi hari. Hitung-hitung membuat semangat baru.

"Mas Anggar, hari ini aku buatkan cokelat panas. Teh di dapur sudah habis," katanya lagi seraya mendekatiku yang berada di pinggir kasur dengan badan menghadap ke arah kiri.

"Mas, kamu tidak kerja? Ini sudah jam enam loh," sautnya.

"Cium dulu!" pintaku tanpa membuka kedua mata.

Aku tahu dia sedang mengerucutkan bibirnya, karena itulah yang sering ia lakukan ketika aku meminta dia menciumku di pagi hari.

"Mana ciumnya, Sayang? Aku nggak bangun loh," pancingku sambil memutarkan badan dan membelakanginya.

"Mandi dulu, baru itu aku cium!" kepalaku menggeleng dengan cepat.

Tak ada sautan lagi, namun aku juga tak merasakan ada pergerakan apa pun darinya. Huh, kebiasaan yang selalu membuatku talak di tangannya. Kalau sudah begini biasanya aku yang mengalah dan bangkit dengan muka bantal ke arah kamar mandi. Diam-diam mataku menangkap bahwa Fatma tengah tersenyum atas kemenangannya di atas penderitaanku, tunggu balasanku ya!

Setelah mandi, segera kupakai setelan kerja yang sudah Fatma siapkan sejak ia bangun. Terlalu rajin atau memang sangat cinta pada suaminya, entahlah. Yang pasti Fatma senang melakukan hal seperti ini, katanya: "Dikit-dikit membantu, biar kamu nggak terlalu riweh pas bangun."Gitu.

Mataku kembali menangkap sosok Fatma yang tengah duduk di kursi meja makan, dengan dua tongkat penyanggah yang ia miliki untuk membantu berjalan di samping kanan meja. Bibirku tersenyum dan menghampirinya yang sedang melamun, lalu mencium puncak kepalanya dengan lembut.

"Jangan ngelamun, baru ditinggal mandi aja udah gini. Apalagi ditinggal mati, pasti kamu udah jadi batu."

Dia tertawa kecil, "Kamu ini ada-ada aja."

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang