Robert Dumster: Crimson Red

77 4 0
                                    

"People always make war when they say they love peace."
-D.H. Lawrence

File [2407220700]
Doc2
Subject: Robert Dumster

Waktu itu aku masih cukup muda.

Aku ingat saat itu aku merangkul gadis itu dengan sangat erat-- takut kalau jika aku melepaskannya ia akan pergi-- yang memang benar akan terjadi.

Aku ingat tangan kurus itu menangkup wajahku, air mata itu perlahan menetes dari matanya-- dan mataku, mungkin, tapi aku tidak ingat--, dan ia menciumku.

Hanyalah sebuah ciuman sederhana-- tapi rasa itu selalu tergiang di bibirku.

Dan aku memeluknya lagi-- dan dia memelukku balik. Mendekatkan bibirnya di telingaku, ia berbisik,

"Aku mencintaimu,"

Suaranya lirih, tapi sehangat bunga yang bermekaran di musim semi.

Dan ia pergi. Mereka membawanya.

Mobil-mobil van melayang itu. Mereka menyeretnya di dalamnya. Ia tidak bisa melawan. Begitu ia berbalik dan menatapku untuk terakhir kalinya, aku melihat perlahan iris kelabu itu hancur, berubah menjadi butiran debu dan berterbangan hilang terbawa angin.

Ia telah hancur. Dan mungkin-- mataku juga terlihat seperti itu-- begitu hancur dan rusak. Tapi aku tidak tahu-- aku bahkan belum melihat bayangan diriku sendiri belakangan ini.

Aku ditarik ke sisi lain, sebuah tempat pelatihan. Setiap pemuda berumur delapan belas sampai enam puluh tahun diwajibkan mengikuti wajib militer. Peperangan sedang bergemuruh antar bangsa-bangsa, yang membuat jutaan--mungkin lebih-- orang dari seluruh dunia terbunuh.

Aku menatap langit. Walaupun matahari bersinar sedemikian terik, entah kenapa langit begitu kusam.

"ROBERT!"

Pria itu berteriak. Ia memukul wajahku dan memaksaku bergabung ke barisan. "Tidak bisa, pak." Aku mencoba bersikap lembut, walaupun hal yang ingin aku lakukan adalah meninju wajahnya. "Oh, ya? Tidak, tidak, aku tidak mau membuat pengecualian. Tidak walaupun pacar tersayangmu ditangkap. Sekarang jadilah anak baik penurut dan kau akan selamat." Ujarnya dengan suaranya yang menyebalkan. Ia menatapku seperti aku adalah kotoran anjing seperti ia menatap pria-pria lainnya.

Tapi aku sudah muak. Selama ini, dipaksa berlatih untuk mati. Selama ini, hanya bisa diam menatap kepergian orang-orang yang kucintai.

Dan mereka tidak memiliki setidaknya sopan santun padaku, yang telah mengorbankan begitu banyak.

Aku muak. Aku tidak mau hidup seperti ini. Aku membenci mereka. Aku membenci orang-orang yang berpatroli di jalanan, menculik siapa saja yang kabur. Aku membenci orang-orang yang duduk diam diatas perut gendutnya sementara nasib dunia ada di tangannya.

Aku benci orang-orang tua yang mendeklarasikan perang, dan membiarkan muda-mudi bertarung untuknya.

Amarah membakar dadaku. Kuayunkan tinjuanku ke rahangnya.

Mereka tidak bisa mengendalikanku.

Pria itu terjatuh. Ia menatapku kesal, membuang darah dari mulutnya. Ia mencengkram rambutku, dan membawa wajahku dekat.

"Merasa tangguh, huh?"

Aku melayangkan tinjuan ke perutnya. Ia menghindar ke belakang. Aku berlari kearahnya, melayangkan tendangan tinggi, tapi ia menahan kakiku, dan menjatuhkanku ke tanah.

"AKU YANG BERKUASA DI SINI!" Serunya. "Kau harus menuruti perintahku!"

Aku meringis begitu punggungku terhantam lantai yang keras.

Menekankan kakinya di dadaku, ia tersenyum keji. "Dasar sampah. Kau bahkan tidak bisa melindungi gadis itu. Kukira ia cinta sejatimu atau apalah. Tapi kalian pantas--"

Cukup.

Aku mencengkram kakinya kuat, lalu membanting tubuhnya ke tanah. Aku berdiri dan menendang perutnya sebelum ia bangkit. Dia mencoba bangkit, tapi aku mencekik lehernya.

Jangan. Katakan. Apapun. Tentang. Dia.

"Sekarang," aku menatapnya tajam, lalu meniru senyuman yang tadi ia lemparkan padaku. "Bisa kau ulang apa yang kau katakan? Aku tidak mendengar kata terakhirnya."

"...breng...sek..." ia merintih.
Aku menyeringai, mematahkan tulang lehernya dengan cepat, bahkan sebelum teriakannya keluar dari kerongkongannya.

Aku mencuci tanganku dari darah, dan berbalik begitu sekelompok orang dengan senjata tajam berlari kearahku.

Lalu itu semua terjadi.

Aku melampiaskan setiap kekesalanku, kemarahanku, kehilanganku. Tanganku berlumuran darah, tapi aku tidak peduli.

Bagaikan sebuah monster yang terbentuk dari dendam, dengan matanya yang kelam dan tangannya yang tajam.

Suasana pasti sangat ramai, tapi aku tidak mendengar apapun. Semuanya berjalan selambat daun kering yang berjatuhan. Aku bahkan tidak dapat mendengar pikiranku sendiri.

Bagaikan mesin pembunuh, membantai semuanya.
Genangan crimson itu mulai memenuhi lantai, menggenang sampai mata kakiku.
Bagaikan sinar rembulan, dingin dan menusuk.
Dan dinding-dinding itu bercat merah, menjadi satu-satunya saksi bisu atas apa yang terjadi.

Dan sore itu langit bertinta kuning, hanya bisa melihat kejadian ini dari atas.

Satu hal di pikiranku;

Aku akan membawamu kembali, Rose. Apapun resikonya.[]

Dying WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang