Cedric Torren: Dead Loss

62 4 0
                                    

"You can have peace. Or you can have freedom. Don't ever count on having both at once."

-Robert A. Heinlein

File [30072207000]
Doc3
Subject: Cedric Torren

Aku ingat kegelapan.

Kelopak mataku tertutup rapat, tapi bayangan itu begitu nyata.

Aku ingat tanganku memegang sebuah senjata api. Besar dan berat. Aku ingat Ren dan Felix di sebelahku, berjuang. Aku ingat rasa butiran tanah dan arang di permukaan kulitku. Aku ingat bau asap dan dentuman api di sekitarku.

Aku ingat mimpi itu adalah memori yang terulang, yang selalu berputar di kepalaku bagaikan kaset yang rusak.

Aku melawan. Meninju. Menendang. Apapun yang bisa kulakukan. Mereka semua terjatuh dan mengerang kesakitan. Aku ingat waktu itu aku berusaha menarik napas dan menenangkan degup jantungku, lalu tangan-tangan itu menarik tubuhku.

Aku mendengar suara tembakan, dan Felix meneriakkan nama Ren. Felix berlari ke arah Ren. Aku melihat dari sudut mataku ketika Felix menepuk-nepuk kepala Ren, berteriak kepadanya untuk bertahan. Air mata turun di wajahnya yang berkeringat. Aku melihat darah mengucur deras dari perut Ren. Tidak mungkin ia bisa selamat.

Dan Ren tersenyum, kearahku, pahit dan lemah, sebelum mata cokelatnya menjadi dingin, dan kulitnya memucat.

Tidak.

Tidak, tidak, tidak!

"REN!"

Aku ingat aku berteriak. Aku memberontak. Aku menggila. Aku merasakan mata dan wajahku memanas dan air mata mulai keluar dari kelopaknya. Aku berusaha lepas dari cengkraman mereka. Felix melihatku, berlari kearahku sambil menodongkan senjata pada mereka yang mencengkramku. Tapi satu kelompok pasukan menyergapnya, dan ia memberontak bagaikan singa yang mengamuk, meneriakkan namaku dan Ren.

Aku ingat mereka memukul kepalanya dengan keras-- dan mungkin kepalaku juga-- dan semuanya gelap.

Malam itu aku terbangun dari mimpi itu lagi. Butuh beberapa menit untukku menyadari di mana aku berada. Aku terduduk di sebuah kursi beton, dan dinding terasa begitu dingin di kulitku. Aku melihat--merasakan-- dinding tidak kasat mata--Aeris, mereka menyebutnya-- di depanku.

Aku tahu apa yang terjadi jika aku melewatinya.

Pria berkulit sawo matang yang selalu mengoceh itu sekarang berada di ruang perawatan. Ia berusaha keras menembus dinding itu walaupun sengatan-sengatannya membakarnya. Sekarang setengah kulitnya terkelupas dan gosong dan ia kehilangan beberapa jarinya.

Aku mengernyit begitu seperempat bagian Aeris terbuka. Seorang pemuda berambut pirang kotor dilempar masuk. Ia mengumpat Kepada orang yang memakai baju pelindung yang membawanya. Ia lalu bangkit, berlari ke Aeris, berusaha keluar, tapi berteriak kaget begitu sengatan listrik mengenai tangannya.

Aku mengernyit. Ini adalah penjara kelas atas-- untuk pemberontak yang telah menyebabkan kerusakan parah dan sangat berbahaya seperti pria yang tinggal di sel di depanku yang tubuhnya sebesar beruang dewasa. Pemuda ini mungkin kelihatan tangguh, tapi dia... masih anak-anak.

"Duduklah nak," aku bisa merasakan suaraku terdengar begitu serak dan tua. "Percuma. Orang yang terakhir kali berusaha melewati Aeris sedang sekarat seperti bayi hamster di ruang perawatan,". "Aeris?" Tanya pemuda itu sambil mengernyit. Aku mengendikkan daguku pada dinding itu, lalu dia menggumamkan, oh.

Keheningan berjalan selama, entahlah, dua puluh menit? Tiga puluh menit?

Pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Kuharap itu adalah senjata tajam atau apapun yang bisa membantu, tapi kulihat itu hanyalah sebuah spidol hitam.

Dying WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang