"Ayah, apa pernah ayah menangis?"tanyaku yang kala itu berusia 10th.
Ayah tak menjawab, melainkan tersenyum. Senyum yang hingga kini belum dapat kuartikan apa maknanya.
"Ayah sayang Nadira?"kali ini usiaku sudah 12th, aku masih ingat betul kalau saat itu kami baru saja pulang dari Bali dan sedang makan di sebuah restoran Korea kesukaan Bunda.
Ayah tahu betul yang disukai oleh Bunda, ayah tak pernah menolak yang diminta Bunda. Tapi Bunda juga tak pernah seenaknya. ayah bukanlah tipe orang yang romantis, ia tak suka berprilaku layaknya anak muda yang akan selalu datang dengan kata kata gombal di setiap pertemuan ataupun membawa bunga dan coklat untuk gadis yang ia cintai . Ayah adalah orang yang lebih suka menunjukkan segalanya dengan sikap dan kesetiaan.
Sampai suatu hari, aku pernah mencetuskan satu pertanyaan yang tak pernah terpikirkan olehku juga, "ayah cinta sama bunda?" Tanyaku dengan polosnya .
Ayah tertawa, ia mengacak rambutku disertai dengan kecupan kecil pada keningku. Aku tak mengerti apa maksud perlakuan ayah barusan. Tapi aku tau kalau ayah sangat sayang dengan Bunda, walau hampir tak pernah kudengar ayah mengatakan kata cinta untuk bunda.
Semua terlihat sempurna sampai suatu hari kudengar ayah menangis, Ia duduk pada sofa kecil yang ada di ujung ruang kamar sambil memegang bingkai foto, aku memberanikan diri untuk masuk dan menghampiri ayah,
Kesentuh pundaknya, "ayah?apa yang terjadi?" Tanyaku tak tahu apa apa kemudian duduk dihadapnya. Dengan cepat, ayah memakingkan wajahnya dan menghapus air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Ia tersenyum miris dan bilang, "ayah rindu ibumu,nak" hanya itu, dan duniaku berubah sunyi dalam sekejap . Suaraku rasanya tercekat di tenggorokkan dan tak bisa mengatakn apa apa kecuali memeluk tubuh rapuhnya .
Ayah bukanlah orang yang lemah dan mudah menangis. Dia adalah orang terkuat yang oernah kulihat selama ini.
Tapi kali ini aku melihatnya menitihkan air mata karna orang yang teramat ia cintai telah berpulang .. Aku tau dan sangat mengerti yang di rasakan ayah, tapi aku tak boleh ikut menangis karna ini hanya akan membuat ayah semakin kalut.
"Nadira sayang ayah," satu kalimat pendek dan kami saling menenangkan untuk waktu yang lama.
---
"Karna dunia tak akan selalu membawamu dalam kegelapan . Akan ada waktu dimana cahayamu lebih terang dari yang lain".
Kepergian Bunda 2th lalu masih menyisakan banyak kenangan di hidupku dan ayah. Ada banyak hal yang berubah namun juga ada yang tak berubah.
Seperti yang aku lakukan pagi ini, aku harus bangun sebelum subuh untuk mempersiapkan semua keperluan ayah bekerja. Setelahnya, aku harus memasak dan sedikit membereskan rumah sebelum berangkat ke kampus.
"Nadira berangkat sama ayah?"kulihat ayah sudah berdiri diambang pintu depan sambil sesekali membenarkan dasinya.
"Nggak yah, tadi Nadi sudah janjian sama Rasyid mau berangkat bareng" Mengangguk paham, ayah berbalik dan masuk ke dalam mobil.
Walaupun sudah 2th, tapi ayah tak pernah berubah. Kilatan kesedihan di wajahnya masih begitu kentara meskipun sudah ia tutupi dengan sangat baik.
Sambil menunggu Rasyid datang, aku duduk di meja depan, menulis beberapa kata pada sebuah catatan kecil yang selama ini menjadi tempatku mencurahkan semuanya.
"Ayah, terkadang aku ingin mengajakmu pergi dari kota dan melupakan segala kejadian yang pernah kita alami. Aku semoat berpikir, akan ada baiknya kalau ayah bisa menghirup udara desa yang sejuk dan bebas dari polusi"
YOU ARE READING
Sebelum Senja Terakhir
Short Storysebelum senja terakhir ini isinya cerita one shot. jadi monggo mampirr