Bab 2

1.7K 458 168
                                    

"It's really hard to decide when you're too tired to hold on. Yet, you are too in love to let go"

Aku mengetuk-ngetuk meja di kelasku. Menunggu Ara yang daritadi belum juga datang. Padahal aku ingin mengajaknya ke kantin. Laper. Abis tadi kakakku, Adit masuk pagi. Jadi mau tidak mau aku juga harus ikut masuk pagi karena aku berangkat bersamanya, dan cerobohnya, aku lupa makan walau pun cuma sepotong roti tawar. Setelah asik melamun, aku merasa telingaku ditiup oleh sesuatu. Seketika aku merinding. Ku beranikan diri menoleh dan mendesah pelan saat tau Arayang mengerjaiku.

"Takut ya?" Ara tertawa pelan dan menaruh tas dibangkunya.

"Nggak kok." Aku ikut tertawa canggung. Hanya kaget. "Ra temenin gue ke kantin yuk laper nih. Tadi gue belum makan."

"Ayo deh daripada ntar lo mati kelaparan. Waktunya juga masih tinggal lima menit lagi sebelum bel masuk."

"Sialan lo." Aku menjitak kepalanya.

Ketika keluar kelas, aku melihat Aksa berjalan dari ujung koridor. Ia tersenyum ke arah kami, walaupun dirinya sedang diserbu oleh fans-fansnya. Sudah kuduga sebenarnya sebulan lebih kami resmi menjadi siswa baru disini, anak itu pasti udah famous.

Ara terdiam di sampingku. "Udah, jangan malu-maluin gue. Pake blushing segala." Aku melirik Ara, dan perempuan itu langsung mencubit lenganku.

"Sakit Ra." Aku meringis dan cemberut.

Simpel saja. Sahabatku ini menyukai seorang Aksa Argantara. Berawal dari dirinya dan Aksa yang sering kerja kelompok bareng, tiba-tiba saja ia mengaku padaku bahwa ia menyukai Aksa. Sedikit klise, namun aku juga tidak akan berkomentar terlalu jauh, karena siapa sih yang bisa mengerti kapan perasaan itu akan datang?

Sebulan berlalu pun sebenarnya aku dan Aksa juga semakin dekat. Beberapa kali ia mengajakku mengunjungi panti asuhan, atau tiba-tiba memaksa untuk mengantarku pulang. Namun lama-lama sepertinya aku menaruh dendam padanya karena dia terus menerus menganggu dan mengerjaiku. Hobi, katanya. Hobi yang tentu saja membuatku darah tinggi. Aku juga harus sedikit menjaga jarak darinya setelah tau bahwa sahabatku menyukainya. Walaupun begitu hubungan kami tetap baik.

Baru setengah perjalanan, bel masuk berbunyi. Aku langsung menatap Ara dengan tatapan-lo sih daritadi lama, masih natapin Aksa mulu udah gitu blushing-blushing nggak jelas lagi-Ara hanya tertawa sambil membuat tanda peace di jarinya. Aduh mama, aku kan lapar!

Aku menarik tangan Ara pasrah untuk kembali ke kelas. Tiba-tiba tanganku terisi dengan sesuatu. Aku melihat tanganku dan menemukan sebuah roti di sana. Aku menoleh dan melihat Farrel berjalan di sampingku. Buat lo, katanya. Aku tersenyum, berterimakasih padanya. Setelah itu dia berjalan dan pergi menuju kelasnya di lantai dua.

"Eh, Nja? Lo dikasih roti sama Kak Farrel?" Aku mengangguk sambil menatap Ara

"Hahaha cie yang sekarang blushing." Aku memegangi kedua pipiku. Sedikit tersenyum kecil.

"Udah ah yuk balik ke kelas. Pelajaran pertama kan pelajaran kimia, gurunya galak. Ntar kita dihukum lagi." Aku menarik tangan Ara. Lagi.

**

Aku menghempaskan tubuh ke kasur yang bernuansa ungu ini. Hari-hari di sekolah sungguh melelahkan. Tugas, ujian, bahkan kerja kelompok yang tidak ada habisnya. Besok adalah hari Sabtu, dan aku bersyukur karenanya, setidaknya aku punya dua hari untuk menenangkan tubuh dan pikiran dari padatnya pelajaran.

Satu tahun yang lalu, Mama dan Papa memutuskan untuk bercerai. Entah seberapa beruntungnya Mama, sepuluh bulan kemudian, Mama menikah lagi dengan seorang laki-laki dari Inggris. Papa juga telah memiliki istri baru seminggu yang lalu, dan sebenarnya itu membuatku hancur. Definisi keluarga bahagia sudah lama runtuh dari pikiranku ketika mereka bercerai saat itu. Aku mempunyai satu adik kandung perempuan, namanya Adara, namun ia memutuskan tinggal di Prancis bersama nenek. Jadi, di rumah ini hanya ada Mama, Papa baru, aku dan Kak Adit, serta beberapa pekerja dan sopir. Itupun Mama dan Papa sering pergi meninggalkan aku, karena harus bekerja di luar kota. Sungguh, keadaan ini kadang membuatku merasa sendirian, tapi bagaimana pun aku harus berusaha menerimanya.

[TL-1] BereavementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang