Senja POV
"Only in the darkness you can see the stars."
"Ini yang lo maksud jalan-jalan?"
Aku menatap lurus ke depan. Aksa membawaku ke rooftop salah satu gedung tinggi yang ada di Jakarta. Sebenarnya aku tidak tau tujuannya memilih tempat ini sebagai destinasi 'jalan-jalan' nya.
Aksa tertawa mendengarnya. "Sama aja kan, yang penting keluar dari rumah. Itu namanya udah jalan."
"Udah sore, Sa. Mending pulang aja,"
Aku membalikkan badan bersiap-siap untuk pergi, namun laki-laki itu menahan tanganku. "Tunggu dulu, bentar lagi senja."
Dan benar saja, tak beberapa lama kemudian aku melihat matahari mulai terbenam di ujung barat. Aku terpana melihatnya. Sungguh indah.
"Cantik kan," katanya. Aku mengangguk mengiyakan. "Cewe kayak lo nggak mungkin nggak suka senja, ya kan?"
Aku menoleh ke arahnya. "Lo tau?"
"Gue emang suka senja, kata Mama dulu gue lahir waktu senja," lanjutku. "Gue pengen bisa seindah senja."
"Nggak usah berharap apa-apa, bagi gue sendiri pun lo itu udah indah, Senja."
Langsung saja aku memukul kepalanya pelan. "Ngaco gombalan lo," ujarku kesal. Aksa tertawa mendengar perkataanku. Melihatnya tertawa, entah mengapa tiba-tiba saja aku juga ikut tertawa.
Sekitar sepuluh menit kami berdiam diri menikmati matahari yang semakin tenggelam. Semilir angin beberapa kali menerpa rambutku. "Mau jajan nggak?" tanyanya.
"Jajan apa?"
"Nggak tau, nanti sambil jalan kita cari jajan."
Kami pun segera pergi meninggalkan tempat itu. Aksa memboncengku lalu tiba-tiba saja menambah kecepatan motornya. Aku memukul helmku tepat ke helmnya dengan keras.
"Lo kalau mau mati nggak usah ajak-ajak gue ya!" seruku keras dari belakang.
"Ya kalau kita bisa mati bareng kenapa engga,"
"Gue nggak mau mati sama lo ya, please pelanin nggak?!"
"Iya non Senja, bawel amat si."
**
Jam sudah menujukkan pukul tujuh malam saat Aksa mengantarku sampai di depan rumah. Ia melepas helmnya lalu menatapku.
"Nja, lo lebih suka pagi atau malam?"
"Pagi."
"Seriously? Gue lebih suka malam." Aku memutar bola mataku saat mendengarnya.
"Kenapa lo lebih suka pagi daripada malam?" lanjutnya.
"Apa yang bisa gue liat saat malam?"
Dia menatapku tak percaya. "Banyak anjir." Lalu satu jarinya menunjuk ke langit. "Lo bisa liat itu kalau malam,"
Mataku mengikuti ujung jarinya yang mengarah ke langit lalu melihat bintang-bintang bersinar di bawahnya. Sesaat aku terpana. Indah.
"Itu yang bisa lo liat saat malam,"
**
Jam beker berbunyi di samping tempat tidurku. Aku meraba-raba untuk mematikannya namun jam menunjukkan pukul enam pagi sehingga aku langsung saja meloncat dari kasur. Mampus telat! Aku menarik handuk dan langsung berlari menuju ke kamar mandi. Rasanya sangat malas harus melewati lima hari selama satu minggu di sekolah. Aku masih ingin libur lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TL-1] Bereavement
Teen FictionThe Life's [1]: Senja Alana losing you much more painful than losing hope. Revision by aya, JANUARI ©2021