Dandelion

29 4 1
                                    

Jam baru menunjukkan pukul lima pagi ketika aku terbangun lebih dulu dari pada Nala yang masih bergelung nyaman dibalik selimut. Ini adalah momen favoritku, ketika aku terbangun lebih dulu dari pada Nala dan bisa melihat wajah polosnya yang tanpa beban saat tidur. Wajah itu benar-benar polos, tanpa kekeraskepalaan ataupun kesedihan yang seringkali nampak disana. Aku akan dengan senang hati berbarinh ditempat tidur hingga Nala terbangun, tiga puluh menit kemudian demi melihat wajah polos Nala, Nalaku yang dulu.

"I've missed you so bad, my wife" bisikku pelan, sepelan desau angin pagi diluar sana.

Aku tak pernah bosan membisikkan kata-kata itu tiap pagi dengan harapan Nala akan mendengarkanku dialam bawah sadarnya dan akhirnya kembali seperti Nalaku yang dulu, wanita yang dihadapan Tuhan telah kuberikan janji setiaku.

Seperti biasa, ketika jarum jam menunjukkan pukul 5:25, tidur lelap Nala akan mulai gelisah dan ketika itu terjadi, maka aku akan kembali berbaring, membelakangi Nala dan berpura-pura tidur. Tepat lima menit kemudian Nala terbangun dan langsung menuju kamar mandi. Tanpa membangunkanku ataupun mengindahkan kehadiran.

Dulu, setiap pagi Nala akan selalu membangunkanku. "wake up tukang tidur!" itulah kata-kata yang selalu Nala bisikkan seriap pagi sambil menciumi seluruh wajahku dan membuatku bangun dengan senyuman lebar diwajahku. Tapi semua itu tak ada lagi sekarang seiring dengan Nalaku yang semakin jauh dan tak terjangka.

***

Lagi-lagi keheninganlah yang menyambutku ketika aku memasuki dapur demi mendapatkan kopi pagiku. Membuat kopiku sendiri tanpa sarapan yang layak sudah menjadi rutinitasku tiap pagi selama tujuh belas bulan belakangan dan aku sama sekali tak keberatan kecuali kenyataan bahwa rutinitasku tercipta akibat jarak antara aku dan Nala yang begitu jauh dan tak terjangkau. Aku menatap nanar meja makan yang kosong tak tersentuh yang menjadi bukti nyata lain jarakku dan Nala.

What should papa do, Lio?

***

Dandelion Darmasraya... malaikat kecil yang paling cantik yang pernah Tuhan kirimkan untukku dan Nala. Aku dan Nala menamai malaikat kecil kami Dandelion sesaat setelah aku dan Nala keluar dari ruang praktek dokter kandungan setelah melakukan USG dan mengetahui jenis kelamin bayi yang Nala kandung. Aku dan Nala begitu tidak sabar menantikan tangis pertama Lio, begitulah aku dan Nala memutuskan memanggil malaikat kecil kami. Tiap hari sebelum tidur, aku dan Nala selalu menyempatkan waktu untuk sekedar berbicara dengan Lio yang masih bergelung nyaman diperut Nala. Masa-masa itu adalah masa-masa yang begitu indah dan membahagiakan, baik bagiku maupun Nala.

Hingga hari yan kami nantikan akhirnya tiba. Aku dan Nala tak bisa menyembunyikan raut bahagia kami ketika tangis pertama Lio menggema diruang bersalin malam itu. Dan baik aku maupun Nala tak bisa membendung air mata bahagia kami ketika suster menyerahkan Lio pada Nala untuk disusui. Ketika itu kebagahagiaanku begitu lengkap dan aku berterimakasih pada Tuhan atas anugerah yang ia berikan padaku dan Nala.

Tapi rupanya kebahagiaanku dan Nala tidak bertahan lama. Sebulan setelah dilahirkan, Lio kami mulai jatuh sakit hingga akhirnya aku dan Nala membawa Lio kerumah sakit dan saat itulah Tuhan memberikan ujian yang begitu berat untukku dan Nala. Lio kecil kami mengalami kelainan jantung bawaan. Ketika itu aku bisa melihat kesedihan di mata Nala, tapi Nala memilih untuk menyembunyikan kesedihan itu serta menyimpannya sendiri dan aku... aku memilih untuk pura-pura tidak melihatnya dan mengacuhkannya alih-alih berusaha membuat Nala membagi kesedihannya denganku. Ketika itu, baik aku dan Nala, kami berdua memilih untuk sama-sama mengambil jarak dengan satu sama lain. Satu hal yang seharusnya tidak kami lakukan di masa-masa sulit seperti ini.

Selama beberapa bulan berikutnya, hidupku dan Nala dihabiskan dirumah sakit demi mendampingi Lio kami berjuang melawan penyakitnya. Bahkan Nala rela menutup sementara praktiknya dan sepenuhnya fokus pada pengobatan Lio hingga Tuhan lagi-lagi memutuskan takdir kami. Hari itu, di sore yang berhujan tepat tujuh bulan setelah tangis pertama Lio, putri kecil kami mengembuskan napas terakirnya diatas meja operasi. Lio kecil kami memutuskan untuk menyerah, meninggalkan semua rasa sakitnya dan memilih pulang ke pangkuan sang pencipta dan meninggalkan aku serta Nala tenggelam dalam gelombang kesedihan dan jarak yang kami ciptakan sendiri.

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang