Bianca - Dua

2.3K 192 17
                                    

- Aku ingin selalu bergantung padamu -

Cahaya dari luar tidak banyak yang masuk ke ruang makan di kediaman keluarga Hadwin. Itu karena langit yang masih biru gelap pada pukul setengah enam pagi ini dan lampu di sana sengaja dimatikan, menambah kesan kesepian bagi perempuan yang sedang menyantap sarapan yang dibuatkan Mbak Nur itu.

Entah kenapa Bianca suka sesuatu yang seperti ini. Perempuan itu ingin paginya berkesan dengan cara-caranya sendiri.

Ia tadi bangun lebih pagi dari orang-orang rumah, membangunkan Mbak Nur minta dibuatkan nasi goreng selagi dirinya sendiri pergi mandi, bersiap-siap ke sekolah.

"Mbak, tolong bangunin Pak Kirman, ya? Kayaknya lupa lagi kalo aku mau berangkat pagi." pinta Bianca setelah Mbak Nur meletakkan piring yang sudah terisi nasi berbumbu itu dihadapannya, dengan telur ceplok setengah matang di atasnya. Sesuai kesukaannya.

Perempuan yang sudah berseragam rapih itu tersenyum manis kala Mbak Nur mengangguk mengiyakan permintaannya. "Makasih ya, Mbak."

Ada jeda beberapa detik.

"Oiya," Bianca menghentikan langkah perempuan berumur 30-an tersebut sebelum ia menghilang di balik pintu dekat dapur, "lampunya tolong dimatiin sekalian, Mbak."

Pencahayaan berubah agak gelap dari sebelumnya dan udara khas pagi sangat terasa di permukaan kulit Bianca, baginya ini sangat menyejukkan pikirannya, seperti terapi yang menenangkan dirinya. Perempuan itu sangat menyukainya, meskipun terkadang ia melewatkannya karena bangun kesiangan.

🍁

Bianca Hadwin : bolos kmn?

Bianca Hadwin : nanti balik lagi kannn

Bianca Hadwin : pulang sekolah gue gk ada yang jemput, mau nebeng lo

Bianca Hadwin : yaa?

Bianca mengirim pesan kepada sahabatnya, Darren, setelah tidak sengaja melihat laki-laki itu pergi lewat gerbang belakang bersama tiga orang lainnya dari jendela di samping tempat duduk perempuan itu.

Darren : iye

Bianca Hadwin : ❤

Darren : kok tau gue bolos?

Mereka berdua tidak satu kelas lagi setelah berada di kelas yang sama saat tahun pertama di SMA. Jadi, pantas saja Darren heran kalau Bianca tahu ia pergi karena ia pikir perempuan itu tidak akan melihat ia keluar karena kelas mereka terletak di gedung yang berbeda. Kecuali kalau memang Bianca sengaja mencarinya ke kelas dan tidak menemukan ia di sana.

Bianca Hadwin : tau karena gue melihat

Darren : idih

Bianca Hadwin : sama siapa lo? warung pak be ya?

Darren : akbar gilang jovan

Bianca Hadwin : akbar sejak kapan namanya jd begitu?

Darren : jangan bego, tolong

Bianca Hadwin : tulisan lo bisa dimaknai lain karena tidak menggunakan ejaan dengan benar

Darren : oiya

"Dasar bege," gumam Bianca seraya meletakkan handphone-nya ke laci. Tidak berniat membalas lagi.

Lantas ia kembali mengerjakan latihan soal ekonomi yang diberikan guru untuk mengisi jam kosong yang kebetulan adalah pelajaran terakhir untuk hari ini.

"Bi, ikut gak? Kita mau ke kantin." ajak Valdo yang sudah berdiri di samping meja Bianca, dengan Gea di belakangnya, bergandengan tangan.

Yang diajak berhenti sejenak dari kegiatannya, lalu mendongakkan kepala menatap Valdo, "Enggak deh." sambil menggelengkan kepala.

"Ih, tumben."

Bukan. Bukan karena Bianca sudah kelas dua belas dan ingin fokus belajar, tetapi tanggung, sebentar lagi juga bisa makan di rumah yang porsinya bisa seenaknya.

🍁

Kelas terakhir untuk hari ini sudah selesai sepuluh menit lalu. Bianca masih membereskan barang-barang dan sesekali mengobrol dengan teman sebangkunya sedangkan Darren sudah menunggu di depan pintu.

Laki-laki itu menunggu dengan sabar.

"Lai, gue balik duluan, ya?" pamit Bianca setelah selesai dengan semuanya.

"Iya, hati-hati." balas Laila.

Bianca keluar kelas menghampiri Darren, tanpa merasa sungkan menggandeng lengan yang laki-laki lalu menariknya untuk berjalan. "Ayo!"

"Pak Kirman kemana, Bi?" tanya Darren teringat laki-laki tua yang biasanya sudah di depan sekolah sebelum jam pulang berakhir.

"Nganterin Abang ke Bandung."

"Ngapain?"

"Gak tau deh, bisnis."

Darren diam sejenak. Mendengar kata bisnis, ia jadi kepikiran sesuatu tentang masa depan.

"Ngomong-ngomong, setelah lulus lo rencana mau kemana?"

Bianca spontan menoleh, sedikit kaget. Sejauh ini ia belum memikirkan hal itu, padahal satu bulan lagi pendaftaran snmptn, itu pun kalau dia termasuk 50% dari satu sekolah yang  berhak mendaftar.

"Gue belum kepikiran," jawabnya jujur. "Terus, lo pengen kemana?"

Bianca sama sekali belum melepas kaitannya di lengan Darren, mereka terlihat sedang berpacaran padahal kenyataannya hanya sebatas teman dari kecil.

"Mama pengen gue ke hukum, Papa pengen gue ke manajemen."

"Gue tanya elo bukan orang tua lo." sinis Bianca.

Darren terkekeh pelan, "Lo maunya gue jadi apa, Bi?"

"Hah?" Bianca tidak menangkap maksud Darren.

"Lo suatu saat nanti pengen liat gue yang kayak gimana?"

"Dokter," jawab Bianca ragu-ragu.

Bianca melepas kaitan lengannya. Mereka sampai di parkiran.

Bianca duluan masuk ke mobil, saat Darren memutari depan mobil untuk sampai di pintu seberang.

"Tapi tampang-tampang lo gak cocok." lanjut Bianca setelah pintu samping kemudi tertutup. "Lo itu cocoknya masuk seni. Yang anak-anak cowoknya suka gondrongin rambut."

"Anjir, gue kalo bisa masuk dokter pingsan nanti lo."

Bianca tertawa.

"Besok lo mau jemput gue nggak?" tanya Bianca, beberapa menit kemudian.

"Kalo enggak emang lo mau berangkat sama siapa?" Darren menaikkan sebelah alis.

"Gojek dong!"

"Elah, orang gue aja ada."

Empat kata terakhir dari Darren membuat Bianca berpikir bahwa selama ini ia sering sekali bergantung pada laki-laki itu. Karena laki-laki itu juga yang menempatkan diri seperti Kakak yang harus bertanggung jawab kepada sang adik.

Mereka memang sedekat itu.

(Edited, 2018) - Tue, May 15

Bianca [Currently Edited]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang