1. When We Meet Again

149 2 2
                                        

-CHAPTER 1-

When We Meet Again

VITA

Aku berjalan sendiri di sebuah pusat perbelanjaan di kota tempat aku bekerja. Jarum pendek di jam tanganku menunjuk angka diantara empat dan lima. Belum telat dari jam janjianku dengan Carra. Lagian walaupun aku telat seharusnya tidak apa-apa, toh dia yang memintaku untuk datang dan menemaninya bertemu dengan teman chatting-nya.

Awalnya aku merasa sebal saat aku akan pergi bekerja tadi pagi. Pertama karena aku harus lembur di hari sabtu, dan kedua tiba-tiba saja Carra menghadangku di depan pintu kostnya dan memintaku untuk menemaninya bertemu dengan teman chatting-nya dua bulan terakhir ini.

Akhirnya setelah yakin dia tidak akan melepaskan aku sebelum aku mengatakan ‘iya’ aku menyetujuinya. Di fikir-fikir memang lebih baik aku menemaninya sih, ngapain coba aku nanti malam jika Carra tidak ada? Bisa-bisa aku makin meratapi nasib sebagai ‘jomblo ngenes’, mana sendirian lagi. Selain itu, aku bisa membantu Carra jika cowok yang akan di temuinya nanti berniat macam-macam.

Handphone di dalam tas ku melantunkan ringtone yang aku set khusus untuk tiga orang teman terdekatku. Bergegas aku mengeluarkan benda itu. Saat aku melihat ke dalam layar, ternyata Carra. Tanpa fikir panjang lagi aku langsung mengangkatnya.

“Hallo?” sapaku sambil terus berjalan mendekati eskalator naik.

“Di mana mbak?” seru suara Carra di seberang sana.

“Lo di mana? Gue udah nyampe nih.”

“Oh, udah nyampe ya? Gue di lantai dua nih, lo naik ya? Tunggu gue deket eskalator.”

“Ya udah, gue naik sekarang.” Sambungan di akhiri ketika aku hampir sampai di lantai dua. Carra belum ada di manapun saat aku menyapukan pandangan kesekitarku. Akhirnya aku putuskan untuk menunggu sambil melihat-lihat ke bawah.

Aku mengamati satu persatu orang-orang yang lewat, tapi hanya satu yang membuat aku tertarik. Aku mengamati salah satu dari dua cowok yang berjalan bersisian menuju eskalator, tepatnya pada cowok yang memakai kemeja kotak-kotak berwarna biru. Ada rasa tak asing saat melihatnya. Walaupun aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, tapi aku merasa aku menganalnya..

Astaga! Orang itu sepertiiii...

“Heh! Bengong aja lo.”

Sebuah tepukan di bahuku sukses mengagetkanku. Aku berbalik dan melihat Carra sudah ada di belakangku, di tangannya terdapat dua paper bag hasil berlanjanya. Aku membiarkan Carra berceloteh tentang harinya, sementara aku kembali mengamati lobi pusat perbelajaan ini, mencari di mana orang berkemeja kotak-kotak biru itu berada.

“Nyari tas yuk.” Tiba-tiba saja Carra sudah menarik tanganku untuk berjalan menjauh.

***

“Ra, temen lo itu di mana sih? Udah jam lima nih?” tanyaku saat Carra sedang asik memilih tas yang ia inginkan. Heran deh, perasaan tas dia itu banyak kok masih aja beli tas.

“Tadi sih katanya udah deket. Udah ini kita ke toilet ya?” katanya masih sibuk memilah-milih tas yang di inginkannya. “Bangus yang mana, Ta? Tanyanya meminta pendapatku tentang dua tas yang ada di tangan kanan dan kirinya.

Aku mengamati sekilas dan langsung saja aku menunjuk tas yang ada di sebelah kanan dariku, modelnya lebih simple dan gak terlalu ‘tante-tante’.

“Terserah elo deh kita mau ke mana, gue kan Cuma nganter doang.”

“Jangan gitu dong, Ta.” Serunya yang sekarang telah menatapku. “Ikhlas dong kalo bantuin temen.” Setelah itu ia sibuk kembali melihat kedua tas yang tadi di tunjukannya kepadaku.

Vita's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang